Panitia Adhoc MPR dan Aspirasi Suara Masyarakat

Oleh: Agus Widjajanto - Pemerhati sosial budaya, politik dan hukum, tinggal di Jakarta

Panitia Adhoc MPR dan Aspirasi Suara Masyarakat
Pemerhati sosial budaya, politik dan hukum, tinggal di Jakarta Agus Widjajanto. Foto: Dokumentasi pribadi

Tiadanya kemauan politik dari para elite politik baik dalam lingkaran kekuasaan maupun dari legislatif dalam hal ini DPR RI dan DPD RI, maka sampai kapanpun sepanjang tidak ada Keputusan politik bersama antar tokoh bangsa dari legislatif dan eksekutif  maka MPR tidak bisa bekerja walaupun punya inisiatif sekalipun untuk mengubah UUD.

Dilihat dari susunan MPR saat ini hasil amendemen tidak lagi merupakan "Penjelmaan Rakyat" karena hanya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD RI (sebagai utusan daerah) sementara utusan golongan (secara fungsional ) termasuk kelompok minoritas baik dalam suku, ras maupun agama di negeri ini, tidak lagi terwakili dan duduk sebagai anggota MPR.

Contohnya tokoh dari saudara-saudara kita di Papua. Atau dari PGI, dari Walubi, dari Hindu Dharma , dan suara mereka sangat penting untuk menjaga Keindonesiaan.

Dengan demikian MPR tidak lagi mempresentasikan sebagai lembaga satu-satunya yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagai satu lembaga, tetapi saat ini dilaksanakan oleh DPR RI dan DPD RI, sedangkan presiden bukan dipilih oleh DPR dan DPD saat pemilu, akan tetapi dipilih oleh rakyat Indonesia secara langsung yang berpenduduk 270 juta jiwa.

Pasal 1 Ayat 2 dari UUD 1945 bukan lagi berbunyi "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR" sebagai penjelmaan seluruh rakyat dalam menyalurkan suara dan kehendaknya, diubah menjadi "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.”

Para pendiri bangsa sudah punya pemikiran ke depan jauh melampaui zaman. Saat Indonesia merdeka jumlah penduduknya adalah berkisar 61 juta jiwa.

Apabila menerapkan pemilu langsung maka pertanggungjawabannya tidak mungkin meminta setiap orang dari 61 juta jiwa tersebut.

Oleh karena itu, mengadopsi sistem pemerintahan desa dalam sistem Rembuk Desa yang ada di Bali, NTT, Papua, Jawa, yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Perwakilan, dan ini dilomeksitaskan dengan dasar negara Pancasila yang tertulis dalam sila ke empat dari Pancasila yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”, yang mempunyai esensi adanya dua lembaga yakni DPR sebagai representatif politik yang tugasnya mengontrol kekuasaan agar tidak otoriter, tidak sewenang-wenang yang kekuasaannya tidak terbatas.

Wewenang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah direduksi atau dipangkas saat terjadi amendemen UUD 1945 hingga ke empat kali.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News