Paradoks Sepakbola & Politik

Paradoks Sepakbola & Politik
Paradoks Sepakbola & Politik
Persis rezim Orde Baru. Semua dipersalahkan kepada Soeharto. Padahal, yang bercokol di rezim Orde Baru ada banyak menteri, jenderal, para politikus, anggota parlemen, pengusaha papan atas dan sebagainya. Kebijakan Orde Baru yang sedemikian luas, baik di bidang politik, ekonomi, social, kebudayaan dan sebagainya, rasanya tak mungkin diputuskan oleh Soeharto sendirian. Sebelum jadi presiden, dia hanya seorang Mayor Jenderal di Kostrad yang tak mungkin tahu segala hal.

Bahkan yang diadili di meja hijau pun hanya segelintir. Kasus Soeharto terputus di “tengah jalan” karena kondisi kesehatan yang secara hukum memungkinkan dia tak bisa dilanjutkan peradilannya. Uniknya, tokoh lain di sekitar Soeharto tak tersentuh hukum. Semua bebas melenggang kangkung.

Padahal sedemikian banyak kebijakan Orde Baru yang salah. Di berbagai bidang. Ya, ekonomi, hukum, social, HAM, hingga kekerasan dan penghilangan nyawa serta lain sebagainya. Tetapi Soeharto diadili dan dipersalahkan justru setelah ia tak berkuasa, dan terus dipersalahkan setelah beliau meninggal dunia.

Memang yang “selalu menyalahkan” SBY hanya segelintir para pengamat, politikus, NGO tertentu. Belum tentu juga mewakili ratusan juta rakyat Indonesia. Buktinya, dalam Pilpres, SBY memenangkan pertarungan. Namun pengaruhnya ketika ditayangkan di televisi atau media cetak bisa merasuki banyak orang.

SIAPA sih yang hebat? Irfan Bachdim, striker timnas PSSI di Piala AFF itukah, Conzales, Firman, Bambang Pamungkas, dan pemain bintang lainnya atau

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News