Paradoks Sepakbola & Politik

Paradoks Sepakbola & Politik
Paradoks Sepakbola & Politik
Sampai ada komentar di facebook, bahwa kita susah payah menang 2-1 melawan Thailand gara-gara SBY, Ibu Ani dan sejumlah menteri menonton laga itu melalui televisi  dan disyiarkan media pula. Astaga! Bahkan ia menulis syair lagu dan menyanyikannya pun dipersalahkan, bak kisah ayah dan anak dengan seekor keledai yang serba salah itu.    

Bukannya kritik tidak penting, bahkan perlu, sepanjang tak melihat dunia ini dengan “kacamata hitam” melulu. Tetapi ibarat permainan sepakbola dan lakon teater, para aktor kenegaraan pun membutuhkan good will masyakarat. Burung merak? Yang jika semakin disorak-sorai semakin menjadi? Ya, manusiawi belaka.

Tak hanya Rendra yang seperti itu, Juga Sutardji Calzoum Bakhri, Bung Karno, Iwan Fals. Manusia itu ada narsisnya, anugerah Ilahiat belaka, sepanjang tidak berlebihan melampaui porsinya. Narsis dan Marxis itu beda. Yang terakhir ini memang melegitimasi pertentangan kelas sebagai paradigm perjuangan.

Ada yang bilang bahwa Bung Karno dan Rendra patut dielu-elukan karena kualitas penampilannya memang patut dipuji. Kinerja SBY, bagaimana? Tak patut dipuji? Soal korupsi dinilai gagal karena semakin banyak saja kasus korupsi yang tersibakkan di Indonesia.

SIAPA sih yang hebat? Irfan Bachdim, striker timnas PSSI di Piala AFF itukah, Conzales, Firman, Bambang Pamungkas, dan pemain bintang lainnya atau

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News