Pasal 7 Huruf r UU Pilkada Melanggar HAM

Pasal 7 Huruf r UU Pilkada Melanggar HAM
Pasal 7 Hurup r UU Pilkada Bertentangan HAM. Foto JPNN.com

jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Larangan bagi calon yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam Pasal 7 huruf r Undang-undang Pilkada ditentang keras oleh saksi ahli yang diajukan pada sidang lanjutan uji materi UU Pilkada di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (17/6).

Dua saksi ahli Prof Dr Saldi Isra dan Prof.Dr. Aminuddin ilmar, SH.,MH yang dihadirkan pemohon sepakat menolak pasal tersebut diberlakukan.

Dalam keterangannya, Saldi Isra mengatakan pembentuk undang-undang seharusnya membatasi petahana yaitu individu yang sedang memegang jabatan baik itu kepala daerah atau wakilnya.
 
“Pembatasan hanya berkisar pada hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan petahana. Sebab, kekuasaan di tangan petahana itulah yang potensial ia salahgunakan guna memenangkan dirinya, kolega ataupun keluarganya dalam pilkada,” kata Saldi Isra dalam keterangannya di hadapan Majelis Hakim MK. Rabu (17/6).

Seperti diketahui, dalam Pasal 7 Huruf r yang menyebutkan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota) dengan penjelasan, yaitu yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping. Yang termasuk dalam persyaratan tersebut adalah suami/ istri, orangtua, mertua, paman, bibi, anak, menantu, adik, kakak, dan ipar kecuali jeda satu periode (lima tahun).
 
Saldi Isra juga mengatakan pembatasan tidak boleh merambah objek lain yang sama sekali bukanlah pihak yang dapat dimintakan pertangguja-wabannya atas kekuasaan yang dimiliki petahana. Dalam hal ihwal ini, keluarga petahana, baik karena hubungan darah ataupun perkawinan sama sekali tidak dapat dinilai sebagai orang yang turut memiliki atau memegang kekuasaan pemerintah daerah, sehingga tidak ada alasan dapat diterima untuk membatasi haknya.

“Bagaimana mungkin orang yang bukan pemegang kuasa, tetapi hanya karena memiliki hubungan keluarga dengan orang yang sedang memegang jabatan kepala daerah dapat dibatasi hak-hak politiknya? Lalu, logika hukum apa yang dapat membenarkan pengaturan yang demikian? Sulit tentunya menjelaskan argumentasi hukum yang dapat diterima menurut batas penalaran yang wajar,” tandasnya.
 
Dijelaskan, jika sudah masuk dalam wilayah membatasi hak seseorang, artinya pembentuk undang-undang pun telah masuk ke ranah hak sipil yang politik warga negara, di mana pembatasannya haruslah tunduk pada dasar alasan yang dibenarkan menurut Pasal 28J UUD 1945, UU No 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, maupun UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
 
Hal yang sama dikatakan oleh Prof.Dr. Aminuddin ilmar, SH.,MH yang menyebutkan Pasal 7 huruf r UU Pilkada bertentangan dengan hak asasi warga negara yang sudah diatur dalam politik dimana hak dipilih dan hak untuk memilih.
 
“Keikutsertaan warga negara merupakan aspek penting pula dalam suatu proses demokrasi untuk pengisian jabatan publik melalui pemilihan,” katanya.
 
Sehingga menurutnya proses tersebut harus dibuka kesempatan yang seluas-luasnya dan tidal boleh terjadi diskriminasi atau perbedaan perlakuan, oleh karena hak tersebut secara jelas dan tegas merupakan bagian dari hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang berlaku secara universal dan diatur dalam UU.
 
“Bagi saya, kepentingannya adalah bagaimana melakukan proses itu dengan meletakkan kerangka pengawasan pemilu/pemilukada yang lebih ketat tanpa harus membatasi hak warga negara untuk ikut serta dalam proses pemilukada yang demokratis tersebut,” tandasnya. (jpnn)

JPNN.com JAKARTA - Larangan bagi calon yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam Pasal 7 huruf r Undang-undang Pilkada ditentang keras


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News