Pasar Apung
Oleh: Dahlan Iskan
jpnn.com - SAYA dipaksa istri lihat pasar terapung di Banjarmasin. Saya pura-pura takut: berangkat. Sebenarnya cerita di TV dan medsos sudah cukup lengkap. Untuk apa lagi ke sana.
Maka habis Subuh kami langsung turun dari kamar hotel. Ke dermaga. Fajar belum lagi menyingsing. Doa subuh masih banyak berkumandang dari pengeras suara masjid.
Di dalam mobil teman dari Tanah Bumbu membagi masker. "Untuk apa? Harus?'' tanya saya. ''Asap tebal. Harus pakai masker,'' jawab Nisa, wartawati yang menyertai kami.
Persiapan masker itu berdasar pengalaman rombongan wartawan dari Batu Licin ke Banjarmasin. Sehari sebelumnya. Di sekitar subuh. Mereka harus meminggirkan mobil. Bahaya. Jarak pandang tidak sampai 10 meter. Udara berasap tebal. Campur kabut.
Sampai dermaga, langit timur mulai merona. Tanda-tanda kabut tidak ada. Asap pun tiada. Langit cerah. Kami pun masuk perahu
Tidak ada tempat duduk di dalam perahu. Harus bersila di lantainya. Tidak nyaman. Saya putuskan pindah ke buritan. Atap perahu ini rendah. Tidak bisa berjalan sambil berdiri. Maka saya menuju ke buritan dengan batingkaung.
Itu tidak mungkin dilakukan oleh istri. Lututnyi bermasalah. Maka saya teriaki dia: jangan masuk perahu. Lewat atap saja. Langsung menuju buritan.
Dia sudah biasa lari di atap perahu. Perahu adalah kendaraan utama dari rumah orang tuanyi di Loa Kulu ke sekolahnyi di Samarinda. Ternyata dia pilih duduk di atas atap perahu. Bisa lihat ke segala arah. Ditemani Nisa yang hamil muda.