Pasir Putih

Dahlan Iskan

Pasir Putih
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Ada kota kecil jauh di depan sana: Bowie. Ada di peta. Meski harus sedikit ke luar jalur, kami ke kota itu. Pukul 13.00. Panas-panasnya gurun.

Tertulis di Google: ada satu coffee shop. Ikuti saja garis biru di layar. Kami sudah tidak berharap ada variasi makanan pilihan. Apa saja. Sekadar isi perut.

Ternyata tidak ada apa-apa di kota Bowie. Kota ini rasanya salah letak. Aneh. Kenapa juga ada orang punya rumah di sini.

Kami pun keliling kota mencari si kafe. Google mengatakan: kami sudah sampai. Tujuan Anda di kiri jalan. Tidak ada kafe. Yang ada rumah biasa. Tertutup. Tidak ada tanda-tanda kehidupan apalagi bekas kafe.

Dalam dua menit kami sudah keliling ke seluruh kota. Tidak ada toko apalagi kafe. Kota ini kira-kira hanya seluas satu RW.

Tidak ada rumah bagus. Pun setengah bagus. Tidak ada orang di jalan. Tidak ada pintu rumah terbuka. Sepi. Mati.

Apa boleh buat: sekalian saja nanti makan malam di El Paso.

Embargo dan boikot selalu tidak berhasil untuk jangka panjang.

Kami pun keliling kota mencari si kafe. Google mengatakan: kami sudah sampai. Tujuan Anda di kiri jalan. Tidak ada kafe. Yang ada rumah biasa. Tertutup.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News