Pawang Hujan Penjinak Banjir
Senin, 04 Februari 2013 – 11:40 WIB
Sepekan ini curah hujan Jakarta berhasil dikendalikan. Gubernur Jokowi melakukan rekayasa cuaca dengan memecah awan cummulus di atas Selat Sunda. Dibantu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), volume hujan bisa digembosi hingga 30 persen. Pekerjaan jangka pendek yang layak diapresiasi. Cuaca bisa dikendalikan! Hujan bisa diatur, bisa dipindahkan, bisa dijatuhkan di koordinat lain. Tanpa harus mendatangkan pawang hujan tradisional yang membawa sapu lidi, bergelang akar bahar, bercincin batu akik, berpakaian tradisional dengan segala atribut khasnya. Tidak perlu komat-kamit melafalkan mantra-mantra sakti sepanjang hari? Apalagi harus membuang celana dalam perempuan ke atas genting rumah, sebagai simbol tolak hujan?
Dengan satellite, arah dan kecepatan angin bisa dibaca dengan amat presisi. Dengan radar dan kamera satellite, gumpalan-gumpalan awan stratocumulus, cumulonimbus, cirrocumulus dan altocumulus itu bisa dideteksi oleh BMKG – Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika. Dengan pesawat Hercules, awan-awan pembawa hujan itu bisa dipecah-pecah. Dengan 5 ton butiran Natrium Clorida (garam) setiap hari, awan itu terbelah-belah. Ada yang jadi hujan di Selat Sunda. Ada yang tertiup angin barat menuju ke Kalimantan, Sulawesi dan Jawa bagian Utara.
Rekayasa yang sampai Maret 2013 menghabiskan Rp 13 M itu betul-betul efektif. Jakarta berawan putih tipis, tidak ada hujan, dan tidak menambah beban daya tampang air di permukaan ibu kota. Minggu, 27 Januari yang diprakirakan puncak hujan di bulan Januari –yang sering dipelesetkan hujan sehari-hari itu--- hanya gerimis kecil dan hujan lokal yang tidak signifikan. Jakarta yang diramalkan bakal “tenggelam”, sukses dilalui tanpa cemoohan.
Warga Jakarta senang, terutama di kawasan Pluit, Penjaringan, Daan Mogot, sebagian Grogol, Kampung Melayu, Cilincing, tidak naik debit air genangnya. Rp 13 M itu seolah tidak mahal, jika dibandingkan dengan penderitaan pengungsi banjir yang jumlahnya puluhan ribu pasang mata, baik tua-muda, maupun kaya-miskin.
Apalagi kalau dibandingkan dengan bisnis yang mandek beberapa hari, fasilitas dan peralatan elektronik yang rusak, dan akses yang terputus di mana-mana?
Kebijakan Rp 13M itu, betul-betul tidak ada yang menyoal, tidak ada complain, tidak ada yang ngomel. Baik yang kena banjir, korban banjir, maupun yang kawasannya bebas banjir. Tidak ada yang bilang “boros” atau “penghamburan” dana. Dampak banjir itu triliunan. Angka Rp 13M itu jauh tidak selevel dengan benefitnya, yakni banjir tidak berkelanjutan dan berlama-lama. Karena aneka penyakit ISPA mulai mengintai warga.
Sepekan ini curah hujan Jakarta berhasil dikendalikan. Gubernur Jokowi melakukan rekayasa cuaca dengan memecah awan cummulus di atas Selat Sunda.
BERITA TERKAIT
- Darurat Penyelamatan Polri: Respons Terhadap Urgensi Pengembalian Reputasi Negara Akibat Kasus Pemerasan DWP 2024
- Mengenang Thomas Stanford Raffles, Perintis Resident Court Dalam Sistem Juri di Hindia Belanda
- Menolak Lupa!: Pentingnya Pilkada Langsung Dalam Kehidupan Demokrasi Bangsa Indonesia
- Mengkaji Wacana Wadah Tunggal KPK Dalam Pemberantasan Korupsi
- Quo Vadis Putusan MK Soal Kewenangan KPK Dalam Kasus Korupsi TNI: Babak Baru Keterbukaan & Kredibilitas Bidang Militer
- Menelusuri Jejak Pelanggaran Etika Bisnis: Pinjaman Online Ilegal