PDI Jazuli

PDI Jazuli
Dahlan Iskan bersama KH Imam Jazuli Lc MA (berdiri di tengah), Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon. Foto: disway.id

Orang-orang pondok pesantren biasa tirakat seperti itu. Harus bisa menjalani hidup susah. Salah satu tanda kelulusannya di Lirboyo ialah: jalan kaki, tanpa bekal uang, ke seluruh makam wali sanga.

Perjalanan dimulai dari Kediri ke Surabaya: makam Sunan Ampel.

Lalu ke Bangkalan, Madura: ke makam Kiai Kholil yang disetarakan dengan wali.

Terus ke Gresik, Tuban, Rembang, Jepara, Kudus, Demak, dan berakhir di makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Itu sudah lebih dekat ke kampungnya sendiri.

Sepanjang perjalanan ia boleh menerima tawaran bermalam di masjid atau rumah siapa saja. Termasuk menerima makanan, tetapi tidak boleh menerima tawaran dibonceng sepeda motor maupun tumpangan mobil.

Di Mesir pun Jazuli mencari tempat tinggal yang tidak pakai uang: jadi penunggu kantor. Tidur di kantor itu. Mengerjakan apa saja di situ: di kantor NU cabang Mesir.

Semua santri di Bina Insan Mulia juga puasa setiap hari. Tidak peduli anak siapa. Pun yang di kampus 2. Sampai tidak ada perasaan bahwa puasa itu berat –karena sudah biasa.

Pesantren ini memang punya dua kampus. Sama-sama di pelosok desa itu. Sama-sama lewat jalan sempit. Juga sama-sama mempertahankan suasana pedesaan.

Kiai Jazuli kurang sepaham dengan ulama muda NU yang lagi ngetop sekarang: Gus Baha. Yang dari Rembang itu. Yang ia anggap terlalu berorientasi ke hukum agama masa lalu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News