Pelajaran yang Bisa Diambil Dari Unjuk Rasa Anti-Lockdown di Australia

Apakah ini jadi bukti 'lockdown' berhasil?
Dr Rachael Diprose, dosen Ilmu Sosial dan Politik di University of Melbourne, yang juga pemerhati soal Indonesia mengatakan penolakan warga soal pembatasan aktivitas wajar terjadi di tengah situasi yang tidak menentu.
"Pandemi sudah berlangsung selama 18 bulan, dan ini telah mempengaruhi komunitas global maupun lokal," kata Rachael kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.
"Semua orang lelah dan menurut saya kita tidak dapat meremehkan dampak lockdown pada kesehatan mental, tantangan ekonomi, dan hilangnya mata pencaharian."
Ia mengatakan 'lockdown' memang penting untuk menghantikan penularan virus corona, sehingga reaksi warga yang menolak memang tidak bisa terhindarkan.
"Kita adalah makhluk sosial, dan tidak mengejutkan beberapa orang di Australia maupun Indonesia merasa frustasi dan beberapa mau mengungkapkannya melalui demonstrasi," katanya.
Dokter Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University mengatakan bukan berarti 'lockdown' tidak berhasil, tapi pembatasan di Pulau Jawa atau Indonesia secara umum tetap dibutuhkan.
Alasannya karena cara penanganan COVID-19 kedua negara "berbeda jauh".
"Kalau di Australia jauh lebih terkendali sebetulnya secara epidemiologi," kata dr Dicky kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
Sejumlah warga Indonesia di Australia sedih dan kecewa dengan unjuk rasa terkait COVID akhir pekan kemarin
- Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik yang Reformis, Meninggal Dunia pada Usia 88 tahun
- Dunia Hari Ini: PM Australia Sebut Rencana Militer Rusia di Indonesia sebagai 'Propaganda'
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia
- Dunia Hari Ini: Siap Hadapi Perang, Warga Eropa Diminta Sisihkan Bekal untuk 72 Jam
- Rusia Mengincar Pangkalan Udara di Indonesia, Begini Reaksi Australia