Pelangi Kesepian
Oleh: Dahlan Iskan
"Orangnya masih muda. Lebih muda dari Zul," ujar Hermanto. Ia sudah bekerja. Di meja goyang –istilah untuk pengayak tanah yang mengandung bijih timah/.
Kedatangan Hermanto yang pertama disambut dingin. Sang ayah tidak berhasil mengusahakan pencabutan pengaduan. Pulang. Lalu datang lagi kali kedua. Sudah lebih diterima. Tapi tetap tidak mau mencabut laporan.
"Apakah masih akan ke sana lagi?" tanya saya.
"Tidak. Sudah tidak ada harapan," katanya.
Saya ke rumah Hermanto bersama wartawati Yusnani dari tabloid Belitong Bertuah. Wartawan Belitong Ekspres membantu mencarikan alamatnya.
Rumah itu agak di pinggir kota Tanjung Pandan. Melewati jalan raya depan kejaksaan. Belok kiri. Masuk ke jalan kecil. Lalu masuk gang tanah berpasir. Masuk lagi ke anak gang yang lebih sempit. Lewat jalan setapak.
Ada tiga rumah berjauhan di ujung jalan setapak itu. Jalan buntu. Sepi. Sunyi. Tidak ada orang. Satu sepeda motor bebek terlihat terparkir sendirian di bawah pohon manggis.
Salah satu dari tiga rumah itulah rumah ayah Zulfani. Ternyata ada orang di dalam rumah itu: sang ayah. Bersama ibunda Zulfani. Lalu ada anak perempuan kecil: itulah anak Zulfani dengan istri pertama.