Peliknya Menangani Musibah Nuklir karena Gempa, Belajar dari Jepang

Melebihi Ketakutan yang Disebabkan Bencana Nuklir Chernobyl

Peliknya Menangani Musibah Nuklir karena Gempa, Belajar dari Jepang
Seorang petugas pemantau sedang menguji makanan dari kemungkinan tercemar radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima. Foto : Rohman Budijanto/Jawa Pos
 

Energi nuklir memang sangat menggoda. Sebagai bandingan, satu kilogram uranium bisa memproduksi 2,5 juta kali energi listrik jika dibandingkan dengan satu kilogram batu bara. Itu pun batu bara bisa mengalami kelangkaan. Kalau uranium atau plutonium sebagai bahan bakar PLTN, tak akan ada kelangkaan. Energi tersebut sebenarnya relatif aman. Tapi, kalau bocor atau meledak, yang "hancur" kali pertama adalah psikis manusia dan memunculkan histeria.

 

Ketakutan akibat meledaknya PLTN Fukushima karena gempa dan tsunami pada 11 Maret tahun lalu menyebar ke seluruh dunia. Melebihi ketakutan yang ditimbulkan oleh bencana nuklir Chernobyl yang melontarkan radiasi tujuh kali lipat. Melebihi bencana nuklir di reaktor Three Miles di AS pada 1979.

 

Kini banyak negara yang akan menutup reaktor nuklir. Jepang sendiri tak kapok setelah bom Hiroshima dan Nagasaki, tapi kapok oleh ledakan PLTN Fukushima.

 

Konsentrasi radiasi mungkin hanya sampai radius 20 km dari PLTN Fukushima yang kini menjadi area tertutup. Namun, ketakutan psikologisnya bisa sangat luas, bahkan ke seluruh Jepang. Sektor pariwisata ikut terpukul. Termasuk wisata ke Gunung Fuji yang indah, yang sangat jauh dari Fukushima. Begitu juga, banyak barang Jepang dicurigai beradiasi, termasuk oleh Indonesia.

Gempa di Aceh mengingatkan betapa wilayah Indonesia labil. Persis dengan Jepang. "Untunglah" Indonesia tidak punya reaktor nuklir. Wartawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News