Peliknya Menangani Musibah Nuklir karena Gempa, Belajar dari Jepang

Melebihi Ketakutan yang Disebabkan Bencana Nuklir Chernobyl

Peliknya Menangani Musibah Nuklir karena Gempa, Belajar dari Jepang
Seorang petugas pemantau sedang menguji makanan dari kemungkinan tercemar radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima. Foto : Rohman Budijanto/Jawa Pos
 

Ketika kami ditawari untuk mencicipi, Mohamed Shokeir, jurnalis senior Al Jazeera dari Doha, Qatar, memandang kepada saya. Saya menggeleng karena alasan agama. Dia lalu juga menggeleng. Kami berdua menyaksikan rekan-rekan kami, Su Qi (Tiongkok), Ulrike Scheffer (Jerman), Priscilla Jebaraj (India), dan Lee Sung-Ki (Korsel), mencicipi wine itu dari sloki.

 

"Saya suka rasanya. Lebih ringan," komentar Ulrike Scheffer. Jurnalis harian Der Taggespiegel di Berlin itu membandingkan dengan wine di negaranya yang disebutnya lebih kental.

 

Kami lalu diajak ke ruang bawah gudang wine dan ke pabrik tempat pengolahannya. Di sana ada tabung-tabung besar tempat fermentasi anggur. Tapi, saat itu pabrik sedang tidak beroperasi. Bukan karena sepi pesanan gara-gara bencana nuklir. Namun, pabrik tersebut memang hanya bekerja ketika musim panen anggur. Saat ini sedang peralihan dari musim dingin ke musim semi. Anggur juga baru akan bersemi. Satu musim produksi, Soryu Winery bisa menghasilkan 1,2 juta liter. Per botol berisi 0,9 liter.

 

Setelah bencana nuklir setahun berlalu, Soryu Winery kini lebih tenang. Kepercayaan konsumen mulai pulih. Itulah konsekuensi sebagai bangsa. Meskipun jaraknya jauh, karena sesama wilayah Jepang, apa yang terjadi di Fukushima juga mencemari wilayah lain. Padahal, di Fukushima sendiri radiasi juga tidak berada di level bahaya.

Gempa di Aceh mengingatkan betapa wilayah Indonesia labil. Persis dengan Jepang. "Untunglah" Indonesia tidak punya reaktor nuklir. Wartawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News