Pemahaman Tentang Kekerasan Seksual Bisa Ganjal Perlindungan Korban
Wulan tak menampik, saat ini, sudah ada beberapa kebijakan yang melonggarkan aturan pelaporan.
"Misalnya, tidak harus dokter forensik yang melakukan visum. Akan tetapi pada kenyataannya tetap saja, akses kepada layanan kesehatan utama kan masih susah, apalagi kalau kita tinggal 5 jam dari kabupaten terpencil."
Ia juga tak heran jika masyarakat bahkan anggota dewan sekalipun masih merujuk atau membandingkan RUU PKS dengan ketentuan perkosaan di KUHP.
"Seringkali budaya victim blaming (menyalahkan korban) itu yang dijadikan patokan. Selalu mempertanyakan 'kenapa kamu bisa diperkosa? memangnya kamu waktu itu pakai baju apa? lagian kenapa sih pulang malam sendirian? Perempuan baik-baik kan seharusnya tidak seperti itu'. Dan berbagai perspektif yang seringkali menyudutkan perempuan sebagai korban."
"Ini tadi yang seringkali masih belum bisa disamakan standarnya di antara anggota dewan itu sendiri," ujar Wulan kepada ABC.
Pada akhirnya, kesusilaan seringkali dijadikan rujukan oleh penganut konsep patriarki, yang kemudian memposisikan korban, terutama perempuan, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus kekerasan seksual.
Di sisi lain, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anggota DPR RI Komisi VIII mengatakan, lambatnya pembahasan RUU PKS dikarenakan antrian legislasi yang masuk di DPR, seperti RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta RUU Praktik Pekerja Sosial (RUU Peksos).
- Inilah Sejumlah Kekhawatiran Para Ibu Asal Indonesia Soal Penggunaan Media Sosial di Australia
- Dunia Hari ini: Trump Bertemu Biden untuk Mempersiapkan Transisi Kekuasaan
- Dunia Hari Ini: Penerbangan dari Australia Dibatalkan Akibat Awan Panas Lewotobi
- Dunia Hari Ini: Tabrakan Beruntun Belasan Mobil di Tol Cipularang Menewaskan Satu Jiwa
- Korban Kecelakaan WHV di Australia Diketahui Sebagai Penopang Ekonomi Keluarga di Indonesia
- Trump Menang, Urusan Imigrasi jadi Kekhawatiran Warga Indonesia di Amerika Serikat