Pemakainya dari Napoleon hingga Lady Diana
Cologne memang sangat populer di Indonesia. Di semua supermarket, minimarket, sampai toko kelontong, pasti dijual cologne. Dengan puluhan merek. Namun, tidak semua pemakai cologne tahu wewangian itu diciptakan di Koeln. Apalagi tentang sejarahnya yang bisa membuat Koeln menjadi kota yang sangat populer pada abad XVIII. Hampir tiap hari datang utusan raja atau orang kaya dari segenap penjuru dunia untuk membeli wewangian di sana.
”Kalau dulu ada penjual tisu basah di kereta api dan bilang ’kolonyet’, itu juga merujuk pada Kota Koeln ini. Sebab, jenis parfum yang digunakan di tisu itu adalah cologne,” tutur Widjang.
Eau de Cologne atau Air dari Cologne yang diciptakan Giovanni Maria Farina yang punya nama Jerman Johann Maria Farina. Pria kelahiran 8 Desember 1685 di Valle Vigezzo, daerah di Pegunungan Alpen yang ada di sisi utara Italia, itu menciptakan Eau de Cologne pada 1709.
Eau de Cologne adalah bahasa Prancis yang berarti air dari Cologne atau air dari Koeln. Hingga kini bangunan yang dipakai Farina membuat dan menjual Eau de Cologne kali pertama pada 1709 masih ”utuh” di Koeln. Yakni, di Jalan Obenmarspforten No 21. Bangunan tersebut kini masih digunakan untuk toko parfum. Sementara itu, lokasi produksinya sudah dipindah. Fasilitas produksi di bangunan tersebut kini dimanfaatkan untuk museum.
Menemukan Farina-Haus alias rumah Farina tidaklah sulit. Bangunan itu hanya berjarak sekitar 300 meter dari Katedral Koeln. Katedral yang dibangun pada abad ke-13 tersebut berhadapan dengan stasiun kereta api Koeln. Kawasan di sekitar katedral tersebut menjadi jujukan turis. Terutama pusat belanja di Hohestrasse yang menghubungkan Katedral Koeln dengan Farina-Haus.
Masuk museum Farina, pengunjung akan diajak kembali ke sejarah ratusan tahun silam. Sebagian besar interior dan perkakas di bangunan di pojok jalan itu konon sama dengan kondisi ketika Farina masih hidup. Meja dan kursi buatan Portugal pada akhir abad ke-17 yang dulu digunakan Farina untuk menulis surat maupun mendokumentasikan Eau de Cologne masih ada.
”Halo, saya Farina versi modern. Saya hidup lagi untuk menemani Anda sekalian menikmati Farina-Haus,” kata Tim Fleischer, pemandu wisata yang berdandan ala Farina, lengkap dengan wig putih keriting panjang.
Satu rombongan tur ke museum Farina berisi 15 orang. Memang jumlah pengunjung yang masuk dibatasi karena ruang museum relatif kecil. Ruang pertama adalah ruang pribadi Farina. Fleischer menjelaskan bahwa di situlah Farina menulis semua kisah tentang Eau de Cologne pada 1709. Di situ juga dipajang peta persebaran Eau de Cologne ke seluruh dunia.
INI kali pertama saya menjalani tugas jurnalistik ke Koeln (Köln atau Cologne), Jerman. Tujuan utamanya adalah menyaksikan world premier motor
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang