Pembuat Kebijakan Perlu Memaksimalkan Keterlibatan Akademisi Dalam Perumusan Regulasi

Pertama, sikap saling menghormati antara pembuat kebijakan dan akademisi.
Kedua, bermartabat. Hal ini untuk menunjukkan adanya kesetaraan di antara kedua belah pihak.
Ketiga, inklusivitas.
“Inklusif ini masih jarang, misal menulis aturan tentang kanker, undang orang yang mengalami penyakit tersebut dan minta pendapatnya,” ucapnya.
Dengan mengedepankan ketiga poin tersebut, lanjut Ahmad, diharapkan dapat memperkuat keyakinan para akademisi untuk menjalankan riset dengan metode terbaik untuk hasil yang berkualitas bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan regulasi.
“Tanpa itu, riset tidak bisa mengembangkan apa yang dibutuhkan pembuat kebijakan. Membangun sistem kolaborasi itu dibutuhkan untuk menghasilkan kualitas riset bagus, termasuk cara pengemasan dan bahasa saat disampaikan kepada pembuat kebijakan,” ucapnya.
Pandangan tersebut diamini mantan Direktur Riset Kebijakan Penelitian & Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Profesor Tikki Pangestu.
Dia menambahkan ada bukti yang cukup kuat bahwa kebijakan yang dibentuk dengan berlandaskan kajian ilmiah dan analisis rasional akan memberikan hasil yang baik.
Pembuat kebijakan perlu memaksimalkan keterlibatan akademisi dalam perumusan sebuah regulasi, berikut manfaatnya.
- Eks Direktur WHO Sebut 3 Faktor Penghambat Turunnya Prevalensi Merokok di Indonesia
- Adopsi FCTC di RI Dinilai Tak Relevan karena Indonesia Negara Produsen Tembakau
- Perlu Adanya Upaya Promosi Pangan Sehat dalam Penanganan Stunting
- Waka MPR Sebut Program CKG yang Diapresiasi WHO Bukti Aksi Nyata Presiden Prabowo
- Equilab International Siap Dukung BPOM Peroleh Status WHO Listed Authority
- Trump Bikin Gebrakan Hari Pertama, Langsung Teken Keppres agar AS Keluar dari WHO