Pembuat Kebijakan Perlu Memaksimalkan Keterlibatan Akademisi Dalam Perumusan Regulasi

Oleh sebab itu, pembuat kebijakan menggunakan hasil riset untuk pembentukan regulasi.
“Sebagai justifikasi untuk membuat keputusan yang baik,” kata Tikki.
Sekarang ini, lanjut Tikki, berbagai institut pendidikan tinggi sudah melakukan riset dan pengembangan teknologi yang hasil penelitiannya dianalisis untuk dijadikan rekomendasi bagi para pembuat kebijakan.
Rekomendasi tersebut diharapkan menjadi acuan dalam penyusunan regulasi.
Sebagai contoh, Pemerintah Jepang mendukung penggunaan produk tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan.
Dukungan diberikan setelah melihat hasil kajian ilmiah yang menunjukkan produk tersebut merupakan alternatif untuk beralih dari kebiasaan merokok karena memiliki profil risiko yang jauh lebih rendah.
Hasilnya, berdasarkan survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, jumlah perokok pria dan perempuan terus menurun pada tahun 2022.
Prevalensi perokok pria turun 3,4 poin menjadi 25,4 persen. Adapun tingkat perokok perempuan turun 1,1 poin menjadi 7,7 persen.
Pembuat kebijakan perlu memaksimalkan keterlibatan akademisi dalam perumusan sebuah regulasi, berikut manfaatnya.
- Eks Direktur WHO Sebut 3 Faktor Penghambat Turunnya Prevalensi Merokok di Indonesia
- Adopsi FCTC di RI Dinilai Tak Relevan karena Indonesia Negara Produsen Tembakau
- Perlu Adanya Upaya Promosi Pangan Sehat dalam Penanganan Stunting
- Waka MPR Sebut Program CKG yang Diapresiasi WHO Bukti Aksi Nyata Presiden Prabowo
- Equilab International Siap Dukung BPOM Peroleh Status WHO Listed Authority
- Trump Bikin Gebrakan Hari Pertama, Langsung Teken Keppres agar AS Keluar dari WHO