Pemerintah Diminta Tolak Penilaian Indonesia sebagai Negara Maju

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah disarankan menolak penilaian Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) yang menyebutkan Indonesia sebagai negara maju.
Saran tersebut disampaikan ekonom senior dari lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani.
"Tolak saja, China yang negaranya besar saja menolak, kita jangan diam karena akan mempengaruhi ekspor," ujar Aviliani dalam konferensi pers bertema "Salah Kaprah Status Negara Maju" di Jakarta, Kamis (27/2).
Menurut dia, penilaian itu musti dipertanyakan mengingat terdapat beberapa hal yang belum sesuai bagi Indonesia untuk masuk ke dalam kategori negara maju.
Salah satunya, lanjut dia, peran ekspor Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi nasional relatif masih kecil.
"Peranan ekspor bagi lndonesia tidak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Peranan ekspor terhadap PDB (produk domestik bruto) Indonesia baru mencapai kisaran 20-25 persen terhadap PDB," paparnya.
Menurut Aviliani, ini berbeda dengan negara lain seperti Vietnam yang peranan ekspornya mencapai 105 persen terhadap PDB.
Ia juga mempertanyakan salah satu indikator penilaian AS, yakni lndonesia dianggap sudah memiliki porsi ekspor lebih dari 0,5 persen di dunia serta keanggotaannya di G 20.
Ekonom senior Indef Aviliani menyarankan pemerintah menolak penilaian USTR yang menyebutkan Indonesia sebagai negara maju.
- Mantap, Perusahaan Asal Jember Sukses Ekspor Perdana Cerutu ke Jerman
- Berkat Dukungan Bea Cukai, Perusahaan Ini Sukses Ekspor Tas dan Koper ke Belgia
- Bea Cukai Genjot Ekspor di Daerah Ini Lewat Langkah Kolaboratif dengan Berbagai Instansi
- Bea Cukai Tingkatkan Daya Saing UMKM di Belitung dan Bangka Tengah Lewat Kegiatan Ini
- Bea Cukai Gencarkan Sosialisasi Ekspor untuk UMKM di 2 Wilayah Ini
- BPS Catat Neraca Perdagangan Surplus USD 3,45 Miliar pada Januari 2025