Pemerintah Harus Kritisi Gerakan Anti Tembakau
Rabu, 28 April 2010 – 15:33 WIB
JAKARTA - Pengamat Prakarsa Bebas Tembakau, Gabriel Mahal berharap pemerintah dan masyarakat Indonesia bersikap kritis dalam merespon kampanye anti tembakau. "Sikap kritis itu penting, mengingat sekitar 6 juta lebih rakyat Indonesia mengantungkan hidupnya pada tembakau dengan segala industrinya," kata Gabriel Mahal, di Jakarta, Rabu (28/4). Dewasa ini, lanjutnya, korporasi-korporasi ini meraup keuntungan besar dari perdagangan obat-obat NRT bersamaan dengan suksesnya kampanye anti tembakau. Berdasarkan laporan World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025, total penjualan obat-obat NRT di seluruh dunia di atas US$3 miliar. Omset ini diprediksi terus meningkat. Terutama dari kelompok negara BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China) yang didiami oleh separuh dari perokok dunia.
Selain itu lanjutnya, tembakau juga memberi kontribusi sangat signifikan bagi APBN melalui penerimaan cukai rokok. Tahun 2010 ini pemerintah mematok cukai tembakau Rp55,9 triliun. “Pertanyaan saya, jika hari ini kita bebaskan Indonesia dari tembakau, apakah pihak-pihak yang mengkampanyekan anti tembakau bisa memberi nafkah bagi lebih 6 juta perut rakyat Indonesia? Di sisi lain para pihak yang berkampanye anti tembakau saat ini telah meraup keuntungan besar dari aktivitasnya," tegas Gabriel.
Baca Juga:
Karena itu, kampanye anti tembakau tidak boleh diterima begitu saja, apalagi inisiasi Prakarsa Bebas Tembakau ini merupakan salah satu Cabinet Project WHO di bawah rezim Direktur Jenderal WHO, Gro Harlem Brundtland yang sudah sarat dengan kepentingan bisnis dari korporasi-korporasi farmasi internasional. “Proyek ini sejak awal mendapat suport dana dari korporasi-korporasi farmasi internasional. Kepentingannya adalah perdagangan obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRT) yang sebelumnya lahirnya proyek itu telah bersaing dengan industri tembakau dalam bisnis nikotin,” ungkap Gabriel.
Baca Juga: