Pemerintah Harus Pertimbangkan Aspek Ilmiah dalam Menyusun Regulasi HPTL

jpnn.com, JAKARTA - Minimnya ketersediaan informasi berbasis riset maupun pilihan produk nikotin alternatif di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dinilai menghambat upaya edukasi dan pembentukan regulasi yang tepat sasaran.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh berbagai peneliti dan aktivis dari berbagai negara pada diskusi hari kedua Global Forum on Nicotine (GFN) 2021.
“Di Meksiko, kami memiliki 16,1 juta perokok. Namun, kami tidak memiliki data survei tahunan tentang jumlah perokok. Akibatnya, angka perokok tidak menurun dalam sepuluh tahun terakhir karena tidak ada mekanisme pemantauan dan tindakan lebih lanjut untuk mengurangi angka tersebut,” kata Co-Founder Pro-Vapeo Mexico Tomás O’Gorman.
Tomás menambahkan, pembuat kebijakan sering kali belum memahami produk nikotin alternatif. Namun, pada saat yang sama, penggiat vape tidak dilibatkan dalam diskusi kebijakan.
Padahal, partisipasi konsumen akan membantu mereka dalam mengakses informasi yang lebih akurat tentang produk, serta pemahaman lebih dalam mengenai kebutuhan masyarakat.
Profesor Sree Sucharitha dari Tagore Medical College and Hospital Chennai, India, mengatakan, jumlah penelitian maupun pilihan produk nikotin alternatif di negara-negara LMIC sangat terbatas, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara berpenghasilan tinggi.
“Kami tidak memiliki penelitian dan bukti yang cukup untuk memberikan data kepada konsumen tentang seberapa aman produk nikotin alternatif dibandingkan dengan rokok konvensional. Peluang penelitian kolaboratif juga tidak banyak ditawarkan kepada para peneliti di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Akibatnya, kami kekurangan sumber daya manusia dan pendanaan untuk mengeksplorasi alternatif tersebut,” kata Sree.
Di Indonesia, regulasi terkait HPTL masih menemui jalan buntu. Diskusi pro- dan kontra- masih belum mendapatkan titik temu yang ideal. Situasi ini menjadi kontraproduktif dan berkepanjangan, yang diperparah dengan minimnya kajian ilmiah sebagai bukti pendukung.
Pada 2019, Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) bersama SkyLab-Med di Athena, Yunani, melakukan penelitian terhadap produk HPTL. Studi serupa dilakukan oleh Pusat Unggulan Iptek Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran (PUIIPK) pada 2020. Secara jumlah, keberadaan riset ini masih kalah jauh jika dibandingkan dengan keluaran jaringan akademisi di Eropa dan Amerika Utara.
Presiden American Vaping Association Gregory Conley menilai, pemerintah maupun dinas kesehatan di beberapa negara sering kali tidak mempertimbangkan aspek-aspek ilmiah dalam menyusun regulasi terkait hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Akibatnya, regulasi yang tengah disusun menjadi terhambat atau tidak tepat sasaran.
“Kita perlu keterlibatan lebih banyak peneliti dan aktivis kesehatan masyarakat untuk bergerak bersama asosiasi vaping dalam meminta pertimbangan para jurnalis dan anggota dewan: ke mana perokok dapat beralih jika produk alternatif juga dilarang?” tutup Gregory. (dil/jpnn)
Minimnya ketersediaan informasi berbasis riset maupun pilihan produk nikotin alternatif di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah
Redaktur & Reporter : Adil
- Bea Cukai Sita Ratusan Ribu Batang Rokok Ilegal Lewat Penindakan Beruntun di Semarang
- Polemik Tata Niaga Timah Akibat Ketidakjelasan Regulasi Berdampak pada Perekonomian Masyarakat Babel
- Peredaran Rokok Ilegal Makin Meningkat, Negara Boncos Hingga Rp 97,81 Triliun?
- Bea Cukai Madiun Musnahkan 1,5 Juta Batang Rokok Ilegal di Kejari Ngawi
- Mengenal NeXa, AI Research Assistant Pertama di Indonesia pada AIxplore 2025
- Survei KIC: Indonesia Masih Tertinggal dalam Pengembangan Teknologi AI