Pemerintah Libya Siap Jalani Reformasi
Rabu, 06 April 2011 – 19:28 WIB
TRIPOLI - Untuk kali pertama sejak pasukan NATO dan Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan udara atas Libya, pemerintah negeri Afrika Utara itu angkat bicara. Kemarin (5/4), melalui jubir Moussa Ibrahim, pemerintah menanggapi tuntutan gerilyawan agar Brotherly Leader Muammar Kadhafi angkat kaki dari Libya.
Dalam wawancara di Tripoli kemarin, Ibrahim menegaskan bahwa pemerintah Libya sangat siap menjalankan agenda reformasi. Bahkan, jika harus berganti presiden dan perdana menteri (PM) ataupun kabinet, para pemimpin yang kini menduduki jabatan penting pemerintahan tidak keberatan. Tapi, selama transisi terjadi, Kadhafi harus tetap berada di puncak tertinggi pemerintahan Libya.
Baca Juga:
"Beliau adalah sosok pemimpin yang unik. Hanya dia yang bisa membuat Libya tetap bersatu selama transisi bergulir," ungkap Ibrahim. Kadhafi yang nyentrik itu justru menjadi figur pemersatu masyarakat Libya yang majemuk. Gaya memerintah Kadhafi yang khas dan tidak pernah membawa-bawa budaya atau etnis tertentu di Afrika itu juga membuat seluruh rakyat Libya merasa terwakili olehnya.
"Sebagian besar rakyat Libya berharap Kadhafi tetap berada di sini dan menyaksikan transisi yang terjadi. Sebab, selama Kadhafi ada di Libya, rakyat yakin kejadian seperti di Iraq atau Somalia atau Afghanistan tak akan menimpa mereka," papar Ibrahim. Rakyat Libya, lanjut dia, trauma melihat yang terjadi di Iraq, Somalia dan Afghanistan.
TRIPOLI - Untuk kali pertama sejak pasukan NATO dan Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan udara atas Libya, pemerintah negeri Afrika Utara itu
BERITA TERKAIT
- Beda dengan Prabowo, Trump Tunjuk Utusan Khusus Presiden untuk Atasi Krisis Ukraina
- Wapres Sara Duterte Digugat Pidana oleh Kepolisian Filipina
- Rawhi Fattuh Jadi Calon Kuat Presiden Palestina, Siapakah Dia?
- Mahmoud Abbas Keluarkan Dekrit Demi Penggantinya di Jabatan Presiden Palestina
- BPK Dorong Tata Kelola Pendanaan Iklim yang Transparan dan Efektif
- Hubungan Presiden dan Wapres Filipina Retak, Beredar Isu Ancaman Pembunuhan