Pemimpin Perempuan di Asia, Antara Tekanan dan Stereotipe
”Absennya para perempuan dari tangga kepemimpinan bisa melahirkan dampak jangka panjang yang tidak menyenangkan bagi kesetaraan gender,” papar Denning sebagaimana dilansir situs asianentrepreneur.
Itulah yang membedakan mereka dengan para kolega di Eropa. Bukannya mereka tak mengalami tekanan. Tapi, demokrasi yang telah matang dan mapan menyebabkan tegaknya kesetaraan hak dan gender.
Kanselir Jerman Angela Merkel, misalnya, bisa dibilang merupakan pemimpin paling kuat dan berpengaruh di dunia saat ini.
Merkel seperti menjadi ”perempuan besi” berikutnya setelah Margaret Thatcher, PM Inggris yang legendaris itu.
Lalu, akankah sentimen penolakan kepada Halimah Yacob membesar dan bisa berdampak pada pemakzulan seperti yang dialami Yingluck dan Park Geun-hye di Korsel?
Melihat latar belakang perpolitikan Singapura, sepertinya memang tidak. Tapi, apa yang dialami Yingluck, Park, Benazir bisa menjadi tempat becermin.
”Glass ceiling bisa disiasati lewat inovasi dan gaya kepemimpinan yang simpatik,” kata Denning. (BBC/usnews/hep/c10/ttg)
Banyak pemimpin perempuan lahir di Asia. Namun, cerita mereka jarang yang berhakhir indah
Redaktur & Reporter : Adil
- Persma Unair: Khofifah Inspirasi Generasi Muda Jatim dan Pemimpin Perempuan TerbaiK
- Laporan Women in Business 2024, Grant Thornton Ungkap Tantangan Kesetaraan Gender
- Hari Kartini 2024, Dirut Pertamina Dorong Perempuan Berkarier dan Optimalkan Potensinya
- Clara Aprilia: Perempuan Kini Makin Lantang dan Berani Menyuarakan Pendapat
- Berziarah ke Makam Fatmawati, Basarah PDIP: Wajar Sebagai Bangsa Memuliakan Pemimpin Perempuan
- Presiden Halimah: Kerja Sama Tripatrit Pemulihan Pasar Tenaga Kerja