Pemodal Ancam Demokrasi Indonesia
Rabu, 28 April 2010 – 18:45 WIB
"Mahalnya praktik demokrasi mulai dari pilkada, pileg dan pilpres yang dirasakan sudah tidak adil semakin diperparah diperparah dengan praktik politik uang yang menembus semua lapisan masyarakat, mulai dari elite hingga rakyat biasa. Saya berani mempertanggungjawabkan trend politik tersebut," tegasnya.
Baca Juga:
Merebaknya politik kotor dalam bentuk pragmatisme, kata Putu, terindikasi dari mahalnya biaya demokrasi. "Untuk penyelenggaraan Pilkada di 500 kabupaten dan kota diperlukan anggaran sebesar Rp10 triliun," ujarnya.
Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan kandidat yang jumlahnya sama dengan biaya penyelenggaraan. Jadi jika ada tiga kandidat maka biaya itu mencapai Rp30 triliun, dengan asumsi setiap pasang membutuhkan Rp20 miliar. Karena itu, Putu Artha mengusulkan agar pilkada digabung serentak dengan pilpres untuk menghemat biaya triliunan rupiah.
Dalam kesempatan sama, politisi Partai Golkar Agun Gunanjar Sudarsa mengatakan, partai politik saat ini tak ubahnya seperti perusahan karena ditentukan oleh para pemodalnya atau pemilik saham mayoritas. Maka tidak megherankan kalau saat ini dalam setiap proses politik marak dengan politik uang.
JAKARTA - Proses demokrasi di Indonesia saat ini tengah menghadapi ancaman serius dari kalangan pengusaha atau pemodal yang semakin menguasai panggung
BERITA TERKAIT
- Survei PSI: Masyarakat Kaltim Pilih Rudy Mas'ud-Seno Aji
- 12 Jurus Ridwan Kamil Atasi Polusi di Jakarta
- Hadiri Senam Partai 60lkar, Richard Moertidjaya Ajak Masyarakat Terapkan Gaya Hidup Sehat
- Pilkada Kota Yogyakarta: Hasto-Wawan Berkomitmen Menciptakan Hunian Layak bagi Warga
- Jadikan Jatim Tetap Aman, Khofifah-Emil Didoakan Kiai NU Meraih Kemenangan
- Flyer Gugat Dana Kampanye Rano Karno Disabotase, Aksi Mahasiswa Batal