Penangkapan Duterte, Tinjauan Tentang Kedaulatan Negara dan Yurisdiksi ICC
Oleh: Prof. Eddy Pratomo S.H., M.A.

Surat perintah penangkapan ICC memerinci peran sentral Duterte dalam melakukan dugaan kejahatan, khususnya kebijakan untuk memberantas narkoba tanpa melalui proses hukum atau extrajudicial killings.
Surat perintah penangkapan itu dikeluarkan karena adanya "dugaan kuat bahwa Duterte telah melakukan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang perkaranya berada dalam yurisdiksi ICC sehingga perlu dilakukan penangkapan”.
Di lain pihak, Duterte telah lama mempertanyakan yurisdiksi dan legitimasi ICC. Dalam pandangannya, ICC adalah penghalang atas upaya negaranya untuk menjamin keamanan dan ketertiban dari ancaman maupun bahaya narkoba.
Duterte juga secara konsisten memandang ICC mempunyai sikap bias sebagaimana dilakukan oleh negara-negara Barat untuk merusak kedaulatan Filipina.
Setelah lengser dari kursi kepresidenan pada 2022, Duterte merasa yakin bahwa dia akan terus berada di luar jangkauan ICC.
Duterte merasa tak tersentuh karena Presiden Filipina Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr. saat berkampanye di pemilu pernah berjanji bahwa pendahulunya di kursi kepresidenan itu tidak akan tersentuh oleh ICC karena pengadilan tersbut tidak memiliki yurisdiksi terhadap Filipina.
Putri Duterte, Sara Duterte, adalah wakil presiden pendamping Bongbong.
Namun, retaknya hubungan aliansi dinasti Marcos-Duterte membuat peta politik di Filipina berubah.
Prof Eddy Pratomo mengulas tinjauan tentang kedaulatan negara dan yurisdiksi ICC terkait pengangkapan Durtete pada saat tidak menjabat sebagai kepala negara
- Jaringan Narkoba Lintas Provinsi Dibongkar Polisi, Sahroni Mengapresiasi
- Ini Tampang Anggota Ormas Brigez Pengeroyok Tukang Parkir di Cimaung Bandung
- Puan Harapkan Korban Pencabulan Eks Kapolres Ngada Bisa Direhabilitasi
- Dulu Usut Teroris, Kini Brigjen Eko Hadi Dipilih jadi Dirtipid Narkoba Bareskrim
- Waka MPR Hidayat Nur Wahid: Netanyahu Lebih Pantas Ditangkap ICC Dibandingkan Duterte
- Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Jadi Anomali, Hinca Pertanyakan Sistem Rekrutmen Polri