Pendekatan Keamanan Saja Tidak Cukup Atasi Terorisme di Indonesia

Pendekatan Keamanan Saja Tidak Cukup Atasi Terorisme di Indonesia
Pendekatan Keamanan Saja Tidak Cukup Atasi Terorisme di Indonesia

Pengamat kejahatan terorisme sekaligus pendiri Institute for International Peace Building di Jakarta, Noor Huda Ismail berpendapat perlu ada dorongan agar mantan teroris yang keluar dari penjara bisa kembali diterima masyarakat. Sementara masyarakat harus membuat kampanye di jejaring sosial untuk melawan gerakan ektrimis.

Kepolisian Republik Indonesia telah mengeluarkan nama pelaku yang terlibat dalam peristiwa serangan dan ledakan di Jakarta, Kamis lalu. Afif Sunakim adalah satu dari lima pelaku yang diduga terlibat dalam kelompok yang menamakan dirinya Daulah Islamiyah atau Islamic State (IS).  Aksi pendukung IS ini telah menewaskan delapan orang, termasuk empat penyerang.

Pemerintah Indonesia kini sedang mempertimbangkan untuk mengubah undang-undang anti-terorisme menyikapi adanya fenomena WNI yang terseret dalam pusaran konflik di Suriah dan kemudian mereka kembali ke tanah air.

Namun, melawan terorisme dengan hanya mengandalkan pendekatan keamanan tidaklah akan cukup. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus menyusun dua kebijakan:  Pertama adalah mendorong mantan terpidana teroris untuk kembali diterima ke masyarakat dan ke dua, dengan menggandeng masyarakat sipil, pemerintah harus melakukan “counter narrative” terhadap penyebaran ide-ide kekerasan yang dikampanyekan oleh IS di dunia maya.

Mencegah residivisme 

Menurut data kepolisian Indonesia, lebih dari 1.200 orang atas tuduhan terorisme telah tertangkap sejak bom Bali 2002.  Namun, beberapa terpidana teroris tampaknya justru naik kasta dan menjadi lebih radikal di balik jeruji besi. Setidaknya, 40an mantan terpidana teroris terlibat kembali dalam kegiatan yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme setelah keluar dari penjara.

Afif Sunakim pernah ditangkap pada 2010 dan dihukum tujuh tahun di penjara karena terlibat dalam pelatihan militer di Aceh tahun 2010. Di penjara, ia menjadi tukang pijat pribadi untuk Aman Abdurrahman, salah satu pentolan ideolog IS. Aman sekarang masih mendekam di Nusakambangan.

Dari sejumlah wawancara yang pernah saya lakukan dengan para residivis teroris menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka percaya bahwa jihad adalah kewajiban agama. Secara bahasa, kata "jihad" sesungguhnya berarti “berjuang” atau “berusaha” yang merujuk pada perjuangan internal maupun eksternal seorang Muslim menjadi Muslim yang baik. Namun, bagi para pelaku tindak pidana terorisme ini, jihad lebih berarti “berjuang melawan rezim sekuler di Indonesia”.

Ada pemahaman umum di antara mereka bahwa jika dipenjara, mereka itu seperti halnya sedang mengambil cuti. Setelah dibebaskan, mereka akan siap kembali bergabung dalam kegiatan terorisme. Dengan keyakinan sepert ini, tak peduli dengan kondisi sosial ekonomi mereka, maka kemungkinan besar mereka akan kembali ke kelompok lama dan melakukan aksinya lebih lanjut sangatlah besar.

Pengamat kejahatan terorisme sekaligus pendiri Institute for International Peace Building di Jakarta, Noor Huda Ismail berpendapat perlu ada dorongan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News