Pendekatan Keamanan Saja Tidak Cukup Atasi Terorisme di Indonesia

Pendekatan Keamanan Saja Tidak Cukup Atasi Terorisme di Indonesia
Pendekatan Keamanan Saja Tidak Cukup Atasi Terorisme di Indonesia

Salah satu napi teroris terkemuka yang pernah dihukum pada tahun 2004 adalah contoh dari katagori ini. Ia dibebaskan pada tahun 2008. Namun kemudian terlibat kembali dalam pelatihan militer di Aceh tahun 2010. Menurutnya, selama ia percaya bahwa yang dilakukannya itu adalah benar, dia tidak akan memiliki pilihan lain selain untuk bertindak, baik di dalam atau di luar penjara.

Dia menegaskan bahwa: “Seorang mujahid (orang yang melakukan jihad) yang  teguh berkomitmen tidak akan dibatasi oleh kondisi di luar atau di dalam penjara” 

Selain alasan tersebut di atas, ada pula keinginan di antara terpidana teroris untuk mencoba kembali  atas upaya mereka yang gagal tercapai pada aksi pertama mereka.  Misalnya seorang narapidana teroris yang pernah dipenjara di Medan karena terlibat dalam perampokan Bank Lippo di Medan pada tahun 2003 dan kembali mengulang aksinya pada perampokan CIMB Niaga Bank pada tahun 2010 mengatakan:

“Jika sebuah tindakan jihad gagal, kemungkinan besar kita akan mencoba lagi tindakan jihad yang lebih besar lagi.”

Para mantan narapidana teroris  itu selalu mengalami dilemma: “Apakah mereka kembali ke jalur jihad atau kembali ke masyarakat dengan mengikuti hidup yang normal?” Jika mereka hidup dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sulit, kurang pendidikan dan tanpa dukungan kuat dari keluarga mereka untuk kembali ke masyarakat, kemungkinan besar mereka akan tergiur untuk kembali ke kelompok mereka karena mereka akan mendapatkan perlindungan dan perhatian.

Menurut laporan dari IPAC tahun 2013 menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia tidak memiliki cukup dana, infrastruktur dan sumber daya untuk menangani rehabilitasi mantan narapidana teroris. Kurangnya kepeduliaan negara setelah penahanan ini menyebabkan mantan narapidana teroris beresiko kembali ke jalan kekerasan karena kurangnya program negara yang sistematis untuk membantu mereka diterima oleh masyarakat luas.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mengatur penempatan, pengawasan, pengembangan dan melakukan program rehabilitasi untuk para mantan teroris. Pemerintah harus berinvestasi memberikan pelatihan kepada petugas pemasyarakatan untuk secara aktif terlibat mendukung para mantan narapidana terorisme menemukan panggilan baru dalam hidup dan membimbing  mereka.

Melawan narasi radikal 

Tantangan kedua adalah untuk menghadapi penyebaran ideology kekerasan yang diusung IS melalui internet.

Pengamat kejahatan terorisme sekaligus pendiri Institute for International Peace Building di Jakarta, Noor Huda Ismail berpendapat perlu ada dorongan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News