Pendongeng Michio Kaku dari Ciheras

Oleh Dahlan Iskan

Pendongeng Michio Kaku dari Ciheras
Dahlan Iskan. Ilustrasi: Jawa Pos

Saat ini, saat tulisan ini dibuat tadi malam, ada 70 santri di Ciheras. Dari berbagai perguruan tinggi. Dari seluruh Indonesia. Jurusan teknik apa saja: elektro, mesin, sipil, arsitek, tambang…. asal bukan teknik sastra.

Teknik sastra?

Itulah guyon di Ciheras. Para santri itu umumnya dikategorikan mahasiswa jurusan teknik sastra. Mengapa? Karena tidak pernah melakukan pekerjaan teknik.

Kesibukan mereka hanya membaca dan menulis. Membaca buku teknik. Dan menulis jawaban. Saat ujian teori teknik.

Di Ciheras mereka harus memegang alat-alat teknik: membuat bilah untuk kincir angin. Membuka motor. Menggulung kumparan…

Sesuai dengan rencana masing-masing. Tidak harus selesai. Boleh saja: baru selesai separo waktu mondok mereka di Ciheras berakhir.

Mereka itu anak-anak cerdas. Penuh inisiatif. Belum sampai satu minggu di Ciheras sudah ada perubahan.

Perencanaan mereka umumnya sudah lebih realistis. Lebih sesuai dengan kemampuan. Dan keterbatasan waktu. Tidak ada lagi jam 8 pagi yang isinya perencanaan buih. Yang hanya enak didengar. Yang hanya menimbulkan kesombongan. Yang hanya mengharapkan tepuk tangan.

Anak muda yang pernah 14 tahun di Jepang itu menetap di satu desa pinggir laut selatan. Di pelosok Tasikmalaya. Di situ ia bikin pondok pesantren teknologi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News