Peneliti AEPI Nilai Cara Mengukur Angka Kemiskinan Salah
Kesalahan keempat, sambung Daeng, kemiskinan akan tampak berkurang jika pemerintah terus menaikkan harga kebutuhan publik seperti transportasi, listrik, dan BBM.
”Padahal, rakyat justru semakin menderita karena terpaksa membayar lebih mahal,” ujar Daeng.
Kesalahan berikutnya adalah pendekatan BPS terkait besarnya pengeluaran yang sama sekali tidak memperhitungkan sumber dana masyarakat.
”Jadi, semakin banyak harta benda rakyat yang hilang untuk membiayai kebutuhan hidup, maka kemiskinan berkurang. Ini pendekatan yang manipulatif,” kata Daeng. Dia menambahkan, kesalahan berikutnya adalah semakin banyak beban utang masyarakat dalam membiayai kebutuhan sehari-hari tidak bisa diartikulasi oleh cara BPS dalam menghitung kemiskinan.
Menurut dia, hal itu sama artinya dengan semakin banyak utang, masyarakat tidak akan miskin.
”Pengertian ini yang menjerumuskan masyarakat dalam jebakan utang kartu kredit atau rentenir,” imbuh Daeng.
Kesalahan terakhir, ujar Daeng, adalah adanya ukuran BPS yang menyatakan semakin tinggi pajak dan pungutan lain oleh pemerintah yang bersifat memaksa, maka pengeluaran masyarakat pasti bertambah.
”Artinya, kemiskinan akan berkurang kalau pemerintah semakin jelas dalam menjalankan strategi kolonial dengan cara memeras pajak,” tegas Daeng. (jos/jpnn)
Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng meminta Badan Pusat Statistik (BPS) mengganti cara mengukur kemiskinan di Indonesia.
Redaktur & Reporter : Ragil
- Kemensos dan Instansi Terkait Siap Rumuskan Protokol Penggunaan Data Tunggal Kemiskinan
- Debat Pamungkas, Andika Singgung 3,37 Juta Rakyat Miskin di Jateng
- Percepat Hapus Kemiskinan, PNM Raih Penghargaan dari Kemenko PMK
- Prabowo Ingin Berguru dari China Cara Mengatasi Kemiskinan
- Inilah Misi Prabowo ke China, Ada soal Pemberantasan Kemiskinan
- Konon Inilah Penyebab Pengangguran di Palembang