Peneliti Omicron
Oleh: Dahlan Iskan
"Terpapar itu kan sama dengan ketempelan virus. Nempelnya di dalam hidung," katanya. "Maka mengatasinya juga sederhana. Lepaskan tempelan virus itu. Dengan cara cuci hidung dengan air garam. Juga cuci tenggorokan. Mudah. Murah," katanya.
Rupanya drh Indro penganut prinsip "orang hidup itu harus pernah membuat sejarah –sekecil apa pun". Selama masa Covid ini ia sudah bikin dua sejarah penelitian: protokol rakyat dan paparan sinar UV terhadap virus.
"Kelihatannya sepele. Protokol Rakyat itu bentuknya cuci hidung. Tapi penelitiannya tidak sederhana. Penelitiannya lama lho," katanya. Terutama, bagaimana virus itu sampai menempel, seberapa kuat tempelannya dan apa yang akhirnya bisa membuat tempelan itu lepas. (Disway 19/7/2021: Protokol Rakyat).
Indro mengajak buka-bukan: agar semua peneliti virus Covid di Indonesia mengungkapkan penelitian apa saja yang pernah dilakukan selama pandemi ini.
Dengan buka-bukaan itu, katanya, kita jadi tahu apakah para ahli virus kita telah melakukan penelitian yang sesungguhnya. "Atau hanya cuplik data primer dan sekunder yang sudah ada," katanya.
Indro tidak rela kalau rakyat diombang-ambingkan oleh angka-angka yang diolah berdasar kepentingan masing-masing.
Saya termasuk senang mendengar prinsip drh Indro ini: apa pun variannya tetap saja Covid-19. Artinya, tingkat kematiannya hanya 2 sampai 3 persen. Waspada dan hati-hati perlu. Tidak harus terteror oleh ketakutan.
Bahwa sampai hari ini paparan Omicron di Indonesia tetap rendah faktornya memang banyak. Vaksinasi sudah meluas. Herd immunity sudah tercapai. Masyarakat kian hati-hati. Dan paparan sinar UV di kawasan Indonesia sangat tinggi. Antara 8 sampai 10 –bahkan mencapai level 12 di Papua.