Pengabaian Wilayah Pinggiran dan Denasionalisme
Oleh; La Ode Ida*
Namun, jangan terlalu berharap banyak untuk wilayah perbatasan, apalagi yang interaksinya lebih intens dengan saudara-saudara mereka dari negara tetangga. Apalagi, pelayanan untuk kebutuhan primer pun diperoleh langsung dari pemerintah negara tetangga.
Fakta kondisi fisik ekonomi dan sosial di wilayah perbatasan dengan Malaysia memang sangat kontras. Di pihak Indonesia terasa sangat tertinggal dari berbagai aspek. Padahal, dua kelompok warga yang beda nasib itu bukan hanya satu rumpun, melainkan di antara mereka banyak yang masih dalam hubungan darah atau bersaudara.
Itulah sebabnya, mereka tak lagi berpikir ideologis keindonesiaan, tetapi lebih berpikir realistis-pragmatis berhadapan dengan tuntutan hidup sehari-hari. Ini merupakan bagian dari hukum atau postulat sosial kontemporer, di mana aspek kesejahteraan sosial menjadi faktor paling menentukan dalam membangun kesadaran nasionalisme. Ketika itu terabaikan, pada saat yang sama akan tumbuh semangat ’’denasionalisme’’.
Selama sepuluh tahun saya mengabdi di DPD RI, kritik atas kebijakan seperti itu sebenarnya sudah sering dikemukakan. Sebab, basis dan orientasi kebijakan anggaran pembangunan adalah jumlah penduduk dan administrasi pemerintahan. Imbasnya, perhatian terfokus pada masyarakat di Pulau Jawa dan Sumatera serta sejumlah pulau lain yang padat penduduknya.
Sementara itu, di perbatasan, perhatian sangat minim sehingga sulit berkembang. Daerah-daerah di pinggiran semakin tertinggal saja, masyarakatnya pun termarginalkan.
Setelah terjadi kasus eksodusnya sebagian warga negara itu ke administrasi dan lahan negara tetangga, baru ada sedikit perhatian. Atau, nanti ada gerakan untuk membebaskan diri jadi negara sendiri, baru kemudian diseriusi dan sekaligus dijadikan sebagai bagian dari ’’proyek keamanan’’. Padahal, semua itu sebagai wujud dari upaya menjadikan diri dan keluarga mereka hidup lebih sejahtera melalui perhatian pemerintah secara berkeadilan.
Dalam konteks administrasi kelembagaan pembangunan di Indonesia, sebenarnya marginalisasi daerah dan masyarakat tak perlu terjadi. Sebab, terdapat empat lembaga administrasi eksekutif yang saling terkait mengurus perbatasan. Dua di tingkat nasional dan dua tingkat di daerah otonom.
Di tingkat nasional, sudah eksis dua lembaga eksekutif, yakni Kementerian PDT (yang sekarang berubah) dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP). Sementara itu, di tingkat daerah otonom, ada pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota. Jika lembaga empat itu saja berkoordinasi untuk membuat perencanaan pembangunan secara bersama, sebenarnya kemarginalan itu tak akan terjadi.
BARU-BARU ini ada berita dari wilayah perbatasan yang sedikit mengagetkan. Dikabarkan ribuan warga bangsa ini yang berdomisili di Kecamatan Lumbias
- Migrants Day 2024, Menakar Urgensi Pendidikan Tinggi bagi Pekerja Migran Indonesia
- Sidang Adat di Balai Panjang Tanah Periuk Jambi Selalu Terjaga hingga Kini
- Catatan Politik Senayan: Penegakan Hukum yang Tidak Melecehkan Rasa Keadilan
- Bantu Rakyat ala Helmi Hasan
- Mengurai Solusi Kekerasan Seksual Anak
- Brengkes Ikan, Cara Perempuan Menyangga Kebudayaan