Pengacara Hedon, Rakyat Tekor: Rp 60 Miliar untuk Menyapu Rp 17,7 Triliun
Oleh: M. Afif Kurniawan

Ini bukan sekadar manipulasi hukum. Ini adalah sabotase terhadap keadilan publik dan institusi negara. Ketika pelaku kejahatan ekonomi berskala besar dapat “dibersihkan” dengan biaya kecil—kurang dari 1% dari total kerugian—maka yang terjadi adalah bukan penegakan hukum, melainkan diskon hukum.
Saat Pengacara Menjadi Operator Kejahatan
Dalam kerangka hukum dan etika profesi, pengacara memiliki kedudukan strategis: mereka adalah bagian dari penegak hukum, bukan pelindung kejahatan.
Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa seorang advokat wajib menjunjung tinggi kejujuran, integritas, dan tidak menyalahgunakan profesinya untuk maksud jahat.
Namun, dalam kasus ini, pengacara tidak lagi menjadi pelindung hak-hak hukum warga, tetapi operator dalam “penghilangan tanggung jawab korporat.”
Mereka bukan sekadar mendampingi klien, tetapi menyusun jalan sunyi menuju impunitas. Sebuah rahasia yang lazimnya sudah banyak diketahui publik, meski tidak menggeneralisasi.
Dari perspektif teori hukum kritis (Critical Legal Theory), peran pengacara dalam kasus ini mengafirmasi argumen bahwa hukum kerap dikendalikan oleh kelas elit.
Tujuannya, tak lain demi melanggengkan kepentingan ekonomi-politik mereka sendiri.
Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri menjadikan hukum bukan sebagai alat keadilan, melainkan panggung flexing sosial dan kekuasaan senyap.
- Jaksa KPK Tuding Mbak Ita Potong Hak ASN Pemkot Semarang
- Dendi Budiman: Miskinkan Hakim dan Pengacara Terlibat Suap Rp 60 Miliar
- Bamsoet Prihatin Muruah Pengadilan Rusak Akibat Rentetan Kasus Melibatkan Hakim
- Ini Kata Menko Yusril soal Kasus Suap Hakim Rp 60 Miliar
- Datangi Kantor Komisi Yudisial, Paula Verhoeven Laporkan Hakim Sidang Perceraian
- Kasus Suap Hakim Rp 60 Miliar, Ada Catatan Ini di Rumah Marcella Santoso