Pengalaman Dua Kali Bertemu Khadafi
Oleh Djoko Susilo*
Minggu, 27 Februari 2011 – 07:47 WIB
Ketiga, tempat duduk tidak dibagi sesuai kelas dan boarding pass. Jadi, mirip orang naik mikrolet. Siapa cepat dia dapat tempat yang disukainya. Keempat, pramugari yang menyajikan makanan membawa sajiannya mirip pelayan warung padang yang membagi makanan dalam kotak kardus.
Bukan seperti lazimnya pesawat komersial. Kelima, tidak ada sepotong kata pun keterangan disampaikan dalam bahasa non-Arab. Untung bahasa Arab teman seperjalanan saya yang dari Indonesia bagus, karena salah satu di antaranya lulusan Universitas Al Fatih, Tripoli.
Dan, yang paling mengkhawatirkan saya ketika sudah terbang melintasi Teluk Persia, pesawat Libya ini mengalami kerusakan mesin dan ditolak mendarat di Kuwait. Akhirnya kami harus turun di Amman, Jordania. Untung tidak terlalu fatal sehingga malam itu kami bisa meneruskan penerbangan sampai Tripoli.
Tiba di Tripoli sudah malam dan keadaan sangat gelap. Kami diinapkan di Hotel El Bahar. Hotelnya bagus, tapi tidak terurus. Maklum, Libya masih diboikot dunia, bahkan baru saja diserang dan dibom Amerika dan Inggris. Maklum, saat itu yang berkuasa di London ialah Margaret Thatcher, wanita besi yang benci Khadafi.
MUNGKIN saya termasuk wartawan Jawa Pos yang cukup beruntung. Sepanjang yang saya tahu, selain Ibu Nany Wijaya (kini direktur PT Jawa Pos,
BERITA TERKAIT
- Kemlu RI Berharap PM Israel Benjamin Netanyahu Segera Ditangkap
- Operasi Patkor Kastima 2024 Dimulai, Bea Cukai-JKDM Siap Jaga Kondusifitas Selat Malaka
- Hari Martabat dan Kebebasan, Simbol Ketahanan dan Harapan Rakyat Ukraina
- Gaza Menderita, Otoritas Palestina Tolak Rencana Israel Terkait Penyaluran Bantuan
- Indonesia Merapat ke BRICS, Dubes Kamala Tegaskan Sikap Amerika
- Ngebet Usir Imigran, Donald Trump Bakal Kerahkan Personel Militer