Pengamat: Dedi Mulyadi Otokratik, tetapi Bukan Otoriter

Pengamat: Dedi Mulyadi Otokratik, tetapi Bukan Otoriter
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Foto: Nur Fidhiah Shabrina/JPNN.com

"Dedi Mulyadi tipenya turun ke masyarakat, dia merasa informasi dan pengetahuan yang dia miliki karena dia terjun langsung, dia merasa itu sudah cukup," katanya.

Kristian menambahkan jika Demul terus melanjutkan gaya kepemimpinan otokratik seperti ini, maka apabila ke depan ada masalah, komunikasi antarbirokrasi tidak ada terjalin karena tak dibangun sejak awal. Kepala dinas dan staf ahli tidak akan punya rasa tanggung jawab akan situasi yang sedang berkembang.

"Pertama, rasa memiliki terhadap keputusan yang diambil. Saya tidak ikut bertanggung jawab dengan keputusan ini yang sudah dibuat atasan saya," ungkapnya. "Ketika ada konsekuensi negatif mereka cenderung menghindarkan diri. Artinya, saya tidak ikut-ikutan, sehingga tidak ada rasa memiliki tadi," tambahnya.

Kedua, lanjut dia, saat masalah muncul maka bawahan harus membereskan, padahal mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. "Ini kurang baik, karena membangun pola 'bawahan tahunya belakangan', hanya sekadar ketika masalah muncul," kata dia.

Lebih lanjut, kata dia, Demil sebagai kepala daerah yang berpengalaman, semestinya paham pentingnya sistem birokrasi di pemerintahan. Kristian berharap mantan bupati Purwakarta itu bisa melibatkan aparatur sipil negara (ASN) lain dalam pengambilan keputusan lainnya.

"Semestinya dia paham, kan, sudah bekerja 10 tahun dengan birokrasi. Artinya birokrasi itu tidak hanya melaksanakan keputusan, dia harus ada rasa tanggungjawab terhadap konsekuensi setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh pimpinan," ungkapnya. (mcr27/jpnn)

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi belakangan menjadi perbincangan publik karena mengeluarkan keputusan-keputusan yang dianggap kontroversial.


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Nur Fidhiah Sabrina

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News