Pengungsi di Nauru Tertunda Pengobatan Sakit Jantungnya Tanpa Alasan
Seorang pengungsi di Nauru mengatakan kepada ABC bahwa dirinya tidak bisa menerima pengobatan yang diperlukan di pulau itu.
Pria berusia 30-an tahun ini menderita masalah gangguan jantung parah selama lebih dari satu bulan dan sempat diberitahu bahwa ia dia akan dikirim ke Port Moresby di Papua Nugini untuk mendapatkan pengobatan.
Pria ini menggunakan nama samaran Yusuf dan mengaku lewat penerjemah bahwa dirinya seringkali terlalu lemah untuk bangun dari tempat tidurnya.
ABC mendapatkan salinan rekam medis Yusuf yang diterbitkan oleh Rumah Sakit Ron di Nauru.
Rekam medis Yusuf ini telah diamati oleh seorang dokter spesialis jantung Australia dan menunjukan bahwa dia menderita ‘coronary syndrome’ atau sindrom jantung koroner dan gangguan irama jantung akibat sinus atau ‘bradycardia’, yang mengurangi aliran darah ke jantung dan dapat memicu serangan jantung.
“Dokter mengatakan, kami telah mengirimkan angiogram (hasil sinar-x pembuluh darah) dan semua laporan tapi apapun yang terjadi dengan pengobatan anda, kami disini tidak memiliki alat pendukung untuk mengobati anda tapi anda bisa melanjutkan pengobatan yang kami berikan,†kata Yusuf.
Yusuf juga mengatakan, pada 23 November, dokter telah memberitahunya -dan sekali lagi pada 1 Desember lalu -bahwa dia akan dikirim ke Papua Nugini untuk menjalani pengobatan, tapi sejak saat itu dia tidak pernah mendapat kabar apapun mengenai rencana pengobatannya itu.
Menurutnya, dia juga telah memberikan persetujuan kepada Layanan Kesehatan dan Kedokteran Internasional (IHMS) untuk adanya pengalihan [pengobatan].
“Pada tanggal 23 November, mereka membuat dokumen resmi yang dinamakan dokumen bepergian untuk saya ke Papua Nugini dan mereka meminta saya menandatanganinya. Saya telah menandatangani dokumen itu beserta persetujuan dan surat pernyataan, tapi mereka tidak pernah mengirim saya [pergi berobat ke Papua Nugini].
Dokter mengatakan pria ini harus dirawat intensif
Dr Clare Arnott, seorang konsultan spesialis jantung yang bekerja dengan para pencari suaka, juga telah melihat rekam medis Yusuf.
“Mereka mengira dia menderita ‘bradycardia’ [tidak teraturnya denyut jantung akibat sinus], sehingga detak jantungnya sangat lambat dan mereka menduga pria itu sepertinya menderita sindrom jantung koroner akut, yang pada intinya seseorang yang memiliki serangan jantung atau seseorang yang terancam terkena serangan jantung,†papar Dr Arnott.
Dr Clare mengatakan, Yusuf -paling minimal -seharusnya dirawat di rumah sakit dan diawasi dengan ketat, yang menurut Yusuf sendiri hal ini tidak dilakukan.
“Sepengetahuan saya yang didasarkan pada rekam medis, mereka merekomendasikan bahwa dia [Yusuf] membutuhkan perawatan spesialis dan dia telah dirujuk ke Layanan Kesehatan dan Pengobatan Internasional (IHMS). Saya tahu dia diresepkan aspirin dan simvastatin, perawatan untuk seseorang yang dikhawatirkan memiliki penyakit jantung koroner,†kata Dr Arnott.
Tapi Pemerintah Australia menyerahkan tanggung jawab atas kesehatan pria tersebut kepada Pemerintah Nauru.
Seorang pengacara menilai, Pemerintah Australia benar-benar meremehkan keseriusan kondisi kesehatan Yusuf.
Menentukan kebutuhan pemindahan
Sebuah pernyataan dari juru bicara Departemen Imigrasi Australia mengatakan, para pengungsi yang membutuhkan pengobatan dibolehkan untuk dipindahkan ke Port Moresby atau Australia guna mendapatkan pengobatan.
“Para pengungsi berhak mengakses proses rujukan kesehatan di luar negeri jika layanan kesehatan tidak tersedia di Pulau Nauru. Proses ini [dilakukan] dibawah pengelolaan Pemerintah Nauru.
Namun para aktivis dan pengacara HAM juru mengungkapkan keprihatinan mereka, bahwa kurangnya kejelasan akan negara mana yang bertanggung jawab atas pengungsi di Nauru telah menciptakan proses yang berbahaya dan berbelit-belit untuk meyetujui pemindahan pengobatan.
“Kondisi ini telah menunda proses pengobatan penting yang diperlukan seseorang. Kita terus menyaksikan hal semacam ini terjadi terus menerus selama 3 tahun terakhir, apapun masalah yang terjadi di Nauru, Pemerintah Australia lebih suka menunjuk Papua Nugini dan Nauru,†kata Daniel Webb dari lembaga Pusat Hak Asasi Manusia.
Webb mengatakan, Pemerintah Australia masih memiliki tanggung jawab hukum dan moral atas nasib para pengungsi di Nauru.
“Kasus ini dipayungi hukum internasional. PBB telah menyatakan berulang kali. Dan pengadilan Australia juga telah menetapkan bahwa masalah ini berada di bawah kewenangan hukum domestik Australia juga,†kata Webb.
“Pemerintah Australia mengirim orang ke Nauru, Pemerintah Australia yang membangun pagar di mana mereka terperangkap di baliknya, Pemerintah Australia mengontrak langsung penyedia layanan, pemerintah menandatangani cek .â€
Diterjemahkan pukul 22:00 WIB, 21/12/2016 oleh Iffah Nur Arifah dari artikel Bahasa Inggris disini.
Seorang pengungsi di Nauru mengatakan kepada ABC bahwa dirinya tidak bisa menerima pengobatan yang diperlukan di pulau itu.Pria berusia 30-an tahun
- Inilah Sejumlah Kekhawatiran Para Ibu Asal Indonesia Soal Penggunaan Media Sosial di Australia
- Dunia Hari ini: Trump Bertemu Biden untuk Mempersiapkan Transisi Kekuasaan
- Dunia Hari Ini: Penerbangan dari Australia Dibatalkan Akibat Awan Panas Lewotobi
- Dunia Hari Ini: Tabrakan Beruntun Belasan Mobil di Tol Cipularang Menewaskan Satu Jiwa
- Korban Kecelakaan WHV di Australia Diketahui Sebagai Penopang Ekonomi Keluarga di Indonesia
- Trump Menang, Urusan Imigrasi jadi Kekhawatiran Warga Indonesia di Amerika Serikat