Pengusaha Angkutan Merugi

Pengusaha Angkutan Merugi
Pengusaha Angkutan Merugi

KENDARI - Jembatan swadaya yang dibangun masyarakat di depan Pasar Minggu Pohara, Lingkungan Anandoko Kelurahan/Kecamatan Sampara, Konawe, Sulawesi Tenggara sejauh ini memang membantu para pengendara yang melintas di jalur yang masih digenangi air itu. Hanya saja, pungutan yang dibebankan sudah mulai dikeluhkan karena nilainya terlalu tinggi. Pemerintah, baik Pemprov Sultra maupun Pemkab Konawe seperti melakukan pembiaran, dan tak punya langkah solutif untuk mengurai persoalan ini.
    
Persoalan ini membuat para pengusaha angkutan meradang dan terpaksa menaikan tarif angkutan Untuk angkutan umum. Mereka rela membayar tarif lebih diluar ketentuan pemerintah. Sebut saja, trayek endari-Konawe normalnya Rp 20 ribu naik menjadi Rp 35 ribu. Begitupun daerah lainnya, jurusan Kendari-Lasolo (Konawe Utara), semula Rp 35 ribu naik menjadi Rp 70 ribu. Sedangkan kendaraan pribadi, biasnya dirasakan pemilik lantaran harus merogoh kocek memperbaiki mesin kendaraan.
    
Kepala Perwakilan Perusahaan Otomotif (PO) Mitra Usaha Kendari, Asdar mengakui jika banjir bagian dari bencana alam. Namun bukan berarti pemerintah lepas tangan. Pemerintah harusnya tanggap. Tidak membiarkan praktek komersialisasi jembatan darurat oleh masyarakat. "Otomatis mereka pungut biaya. Dan itu tidak murah. Tarifnya bervariasi, Rp 60 hingga 100 ribu. Bahkan dijalur menuju Konut, tepatnya di Desa Andadowi biayanya lebih mahal sampai Rp 120 ribu," ujar Asdar di Terminal Puuwatu seperti yang dilansir Kendari Pos (JPNN Group), Minggu (28/7).  
    
Menurut Asdar, sejatinya pemerintah bertindak antisipatif dengan membuat jembatan untuk pengguna jalan agar tidak ada pungutan karena itu jalur provinsi. Asdar menilai ada kesan pembiaran oleh pemerintah karena luapan air di Pohara dan wilayah lainnya sudah sekitar 14 hari. "Kenyataannya seperti itu. Biasanya kalau terjadi banjir, pastinya pemerintah mendirikan posko penanggulangan. Nyatanya, tidak ada posko penanggulangan di lapangan," kesalnya.
    
Tak ingin rugi banyak dan menanggung resiko banjir lebih besar, sebagian besar sopir dan pemilik kendaraan memilih "libur". Asdar merinci sekitar 95 persen mobil angkutan trayek Kendari-Konut tidak beroperasi. "Paling dua atau tiga mobil saja yang ambil penumpang. Selebihnya menganggur saja diterminal," ungkapnya.
    
Untuk menutupi melonjaknya biaya operasional, sopir menaikkan tarif sementara. Tarif itu diberlakukan karena maraknya pungli disepanjang jalan sekaligus untuk menutupi biaya penyeberangan swadaya masyarakat dibeberapa lokasi. Tarif akan dinormalkan kembali setelah air surut. Sebelumnya, jalur Kendari-Lasolo Rp 35 ribu menjadi Rp 70 ribu dan Kendari-Langgikima Rp 60 ribu menjadi Rp 80 ribu.
    
"Jadi, pemerintah harus lebih tanggap sebab masyarakatlah paling merasakan kenaikan tarif sampai 100 persen. Kan kasian sama penumpang yang bayar sewa sampai Rp 100 ribu. Untung bagus kalau ada penumpang paham kondisi ini. Jadi kami minta pemerintah ambil alih atas praktek-praktek ditempat bencana. Supaya masyarakat nyaman dan tidak ada lagi pungutan," imbuh Asdar.
    
Ditempat yang sama, Asri sopir trayek Kendari-Asera (Konut) mengeluhkan lambannya penanganan banjir oleh pemerintah. Harusnya kondisi itu dibenahi lebih dulu tanpa harus menunggu air surut. Sebab, setiap hari debit air terus bertambah. Asri juga harus mengeluarkan biaya ekstra sekitar Rp 500 ribu setiap hari pergi pulang (PP) ketika melintasi dua titik penyeberangan.  
    "Kita bayar di Pohara Rp 100 ribu dan di Andadowi Rp 120 ribu. Belum lagi pungutan-pungutan lain dijalan berlubang, pemandunya dibayar Rp 20 ribu. Begitu pula pulangnya. Jadi sekitar Rp 500 ribu," rincinya. Asri menambahkan sarana penyeberangan milik masyarakat itu satu-satunya akses aman. Mau tidak mau harus melewati titian kayu itu. Konsekuensinya harus membayar.
    
Asri meminta pemerintah turun tangan membantu pengguna jalan. Agar transportasi lancar dan tidak diberatkan pungutan liar. Kini, Asri tidak maksimal lagi mengumpulkan rupiah lantaran jumlah penumpang terus menyusut. Sekali jalan sekitar lima penumpang saja. Padahal biasanya delapan hingga sembilan orang penumpang. "Jadi tidak maksimal, tidak bisa tutup setoran. Kita malah nombok," tukasnya.  
    
Senada dengan Asri, Syamsul sopir trayek Kendari-Kolaka menaikkan sementara tarif angkutan. Pasca kenaikan BBM, tarif normal trayek Kendari-Kolaka sebanyak Rp 60 ribu. Kini mencapai Rp 80 ribu. "Ini akan kembali normal. Kalau air surut, kembali standar Rp 60 ribu," timpal Syamsul diamini Agus, rekannya sesama sopir trayek Kolaka.
    
Tarif itu sebagian untuk menutupi biaya operasional penyeberangan dan pemeliharaan kendaraan yang membengkak. Biasanya, Syamsul hanya sebulan sekali mengganti oli mesin dan sparepart lainnya. Dengan kondisi banjir ini, setiap sepuluh hari Syamsul harus mengganti oli dan kanvas rem depan.

"Jadi kami harus keluarkan biaya ekstra lagi untuk kendaraan. Belum lagi membayar biaya penyeberangan dan pungutan lain disepanjang jalan. Sekali nyeberang pakai jembatan Rp 60 ribu, kalau tidak pakai jembatan biayanya Rp 50 ribu untuk biaya dorong sama masyarakat," tutupnya. (din)

 


KENDARI - Jembatan swadaya yang dibangun masyarakat di depan Pasar Minggu Pohara, Lingkungan Anandoko Kelurahan/Kecamatan Sampara, Konawe, Sulawesi


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News