Pengusaha Menjerit Kesetrum Tarif Listrik
Tuntut Turun Karena BBM Sudah Turun
jpnn.com - JAKARTA - Turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) per 1 Januari tidak akan berpengaruh pada tarif listrik 12 golongan pelanggan PT PLN non subsidi.
Meski salah satu faktor pembentuk ongkos setrum adalah minyak, ada dua penentu lain yang membuat tarif saat ini tidak bisa berubah.
Saat dihubungi, Manajer Senior Komunikasi Korporat PT PLN Bambang Dwiyanto mengatakan ada tiga faktor pembentuk tarif listrik. Yakni, kurs rupiah terhadap dolar Amerika, harga minyak Indonesia, dan inflasi. Nah, kalau mau tarif listrik lebih ringan, ketiga faktor itu harus kompak turun.
"Semua perlu dilihat. Bukan hanya satu indikator saja," katanya dalam pesan singkat.
Memang benar, saat ini harga minyak dunia terjun bebas dan berimbas pada turunnya harga BBM di Indonesia. Namun, itu tidak cukup untuk menurunkan tarif listrik karena inflasi dan nilai tukar rupiah masih tinggi.
Sikap PLN yang tidak menurunkan tarif mematik reaksi asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo). Menurut Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, tiga unsur pembentuk tarif listrik sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Jadi, tidak bisa dipaksakan ketiga faktor itu harus turun semua supaya tarif listrik bisa rendah.
"Banyak pembangkit pakai BBM. Solar turun karena disubsidi, ada juga yang pakai batu bara. Kalau batu bara turun, maka itu juga turun listriknya," terangnya.
Soal nilai tukar menjadi salah satu pembentuk, Hariyadi menilai tidak tepat. Sebab, komponen dari sebagian besar investasi sudah menggunakan mata uang rupiah. Jadinya, tidak ada kaitan yang mendasar dengan dolar Amerika untuk dijadikan faktor tarif listrik.
Menurutnya, tarif dasar listrik perlu turun karena bisa meningkatkan daya saing. Sebab, sektor energi selama ini menyerap banyak pengeluaran. Memang, besarannya tergantung pada latar belakang perusahaan. Namun, tidak ada pengusaha yang bisa hidup dengan sedikit listrik.
"Untuk perhotelan, bidang yang saya geluti, energy itu mencapai 25 persen pengeluaran. Lima tahun lalu, masih 15 persen," jelasnya pada Jawa Pos.
Selama itulah para pengusaha disebutnya menanggung tarif yang tinggi. Sementara, pengusaha tidak bisa meningkatkan harga jual sembarangan kalau tidak mau ditinggal lari pembeli.
Pengusaha, lanjut Hariyadi, cuma bisa berteriak karena tidak punya kekuatan untuk mendorong PLN maupun pemerintah mengubah tarif. Itulah kenapa dia pesimistis tarif itu bisa berubah dan menjadi lebih ramah kepada pengusaha. Harapan itu tidak akan terwujud selama PLN memonopoli bisnis listrik.
"Susahnya karena monopoli. Kalau mereka bilang nggak, ya nggak. Bayangkan, perhotelan dan mall itu membutuhkan banyak listrik. Belanja listrik kami besar, tapi harga termahal," ungkapnya.
Dia lantas menyindir PLN kenapa tidak bisa seperti kebanyakan bisnis. Saat ada yang memborong barang atau grosir, diberi harga lebih murah ketimbang satuan. Hariyadi juga menyinggun tarif listrik di bawah 900 watt yang tidak berubah sejak 10 tahun terakhir.
Ada baiknya terang Hariyadi, tarif untuk pelanggan yang masih di subsidi juga ditinjau ulang. Bagi pengusaha, ada kesan bahwa kerugian yang muncul ditimpakan ke pelanggan industri dengan membuat harga yang mahal. "Jangan semuanya ditimpa ke industri. Rumah tangga di bawah 900 watt kalau dikumpulin juga banyak," terangnya.
Harapan Apindo kini ada di tangan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Sudirman Said. Menurutnya, mereka berdua bisa memberikan tarif listrik yang lebih kompetitif untuk meningkatkan daya saing. "Tapi, kalau kepentingannya untuk PLN saja, ya wassalam," katanya.
Terpisah, Pengamat Ekonomi Energi, Marwan Batubara tidak sepakat kalau nilai tukar dianggap tak relevan lagi. Alasannya, untuk membangun pembangkit PLN banyak menerbitkan surat utang dalam bentuk dolar. Melemahnya rupiah membuat utang itu akan bertambah meski tidak ada peminjaman baru.
"Jadi, mau tidak mau harus diperhitungkan juga," jelasnya. Meski demikian, dia sepakat kalau tarif listrik perlu dibuat lebih kompetitif. Ada berbagai cara yang seharusnya dilakukan PLN untuk membuat tarif dasar itu lebih ramah di kantong.
Seperti peran pemerintah untuk menyiaplkan energi primer yang murah ke PLN. Misalnya, kalau beli gas bisa langsung atau manmbah lapisan lewat PGN, hingga Pertamina. Begitu juga bagi pembangkit yang menggunakan batu bara, pemerintah bisa mengubah aturan supaya kontraktor batu bara membayar pajak dengan barang.
Jadi, tidak lagi berupa uang melainkan batu bara yang nantinya bisa dihibahkan pemerintah ke PLN. Cara itu disebutnya bisa memberikan tarif yang lebih baik karena pasokan energi ke PLN terjamin.
"Rakyat jangan cuma diminta mengerti formula yang dikeluarkan pemerintah. Tapi, peran pemerintah untuk menjamin alokasi energi tidak dilakukan," terangnya. (dim)
JAKARTA - Turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) per 1 Januari tidak akan berpengaruh pada tarif listrik 12 golongan pelanggan PT PLN non subsidi.
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Demi Kemajuan Koperasi, Forkopi Menyerukan Diakhirinya Dualisme DEKOPIN
- Indef Beberkan Kondisi Ekonomi, PPN 12% Tak Realistis
- Pengamat: Prabowo Bisa Mengajukan Penundaan PPN 12 Persen dalam APBNP 2025
- ASDP Catat Lebih dari 1.400 Kendaraan Menyeberang menuju Pulau Samosir Libur Nataru 2024-2025
- Tingkatkan Profit UMKM Lewat Digitalisasi dan Pelatihan Pasar
- Dukung Reformasi Berkelanjutan di Bea Cukai, Bappisus Tekankan Pentingnya Kolaborasi