Penipuan QRIS Marak, DPR Nilai Bukan Kesalahan Penyedia Sistem

Penipuan QRIS Marak, DPR Nilai Bukan Kesalahan Penyedia Sistem
Ilustrasi QRIS. Foto: Humas Bank BJB.

Modus lain seperti scamming dimana pelaku penipuan mengaku sebagai pihak yang sah dan menawarkan hadiah (Giveaway) jika korban melakukan transfer mengunakan QRIS.

Ada lagi modus dengan mengaku pihak dari bank dimana korban dalam percakapan dengan pelaku diminta memberikan informasi OTP dan dipandu melakukan transaksi QRIS.

Pakar hukum dan konsultan keuangan Hendra Agus Simanjuntak sepakat dengan pernyataan anggota DPR tersebut.

Menurutnya, perusahaan penyedia sistem pembayaran biasanya sudah "mempersenjatai diri" dengan ISO 27001:2022 tentang Sistem Managemen Keamanan Informasi dan IS0 37001:2016 tentang sistem Managemen Anti Penyuapan.

"Jadi perusahaan sejak awal sudah membentengi diri dan meningkatkan kualitas managemennya untuk mencegah terjadi penyalagunaan transaksi digital, misalnya melalui QRIS," ujarnya.

Hendra menilai setiap terjadi penyalagunaan QRIS, maka penegakan hukum harusnya hanya berlaku kepada yang melanggar asas kepatutan tersebut.

Ia menilai tidak adil jika terjadi satu kasus penyalagunaan QRIS oleh satu oknum, namun implikasi merembet keseluruh transaksi digital yang ada di penyedia sistem digital.

"Jadi kalau ada satu kasus, maka oknum itu saja yang mendapatkan efek hukum, misalnya blokir nomor rekening dan nomor HP-nya. Sementara arus transaksi lainnya yang sesuai asas kepatutan, biarkan proses berjalan normal. Karena biar bagaimanapun, pasar digital, butuh kepercayaan konsumen yang sangat penting untuk dijaga,” tegas Hendra.

Legislator Fraksi Partai Golkar itu mengingatkan para pengguna akun bank atau penyedia sistem keuangan berhati-hati ketika memindai QRIS.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News