Penyandang Difabel di Indonesia Masih Merasa Dianggap Beban Masyarakat

Ketika masih menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo di tahun 2011, Lutfi yang saat itu berusia 19 tahun, mengalami kecelakaan ketika motor yang dikendarainya menabrak mobil saat hendak pergi kuliah dari rumahnya di Klaten ke Solo.
Akibatnya ia harus cuti panjang dari kuliahnya namun berhasil menyelesaikan pendidikan sebagai sarjana kedokteran.
Tapi Luthfi mengatakan ia tidak bisa melakukan program 'coas', yakni bekerja di rumah sakit selama beberapa tahun sebelum disumpah menjadi dokter, akibat kondisinya.
Kemudian ia memutuskan melanjutkan pendidikan S2 di UGM di jurusan Kesehatan Masyarakat dan sekarang menjadi dosen muda di sana.
"Ya karena sulit untuk melanjutkan ke jalur klinis, saya musti banting setir menjadi peneliti dan kemudian menjadi dosen," kata Luthfi yang sekarang berusia 29 tahun tersebut.

Dalam berinteraksi dengan mahasiswa dan saat berkegiatan di kampus, Luthfi mengaku kadang dia lupa jika dirinya adalah penyandang disabilitas.
"Saya tidak mengalami diskriminasi dalam hal pekerjaan. Saya kebetulan dipercaya dan terlibat di berbagai tim di fakultas."
"Beban pekerjaan saya sama saja dengan yang lainnya, mungkin malah lebih berat dari beberapa dosen di departemen saya." katanya.
Memperingati Hari Difabel Internasional yang jatuh pada 3 Desember setiap tahunnya, ABC Indonesia berbicara dengan mereka yang hidup dengan disabilitas dan aktif di perguruan tinggi
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia
- Dunia Hari Ini: Siap Hadapi Perang, Warga Eropa Diminta Sisihkan Bekal untuk 72 Jam
- Rusia Mengincar Pangkalan Udara di Indonesia, Begini Reaksi Australia
- Dunia Hari Ini: Katy Perry Ikut Misi Luar Angkasa yang Semua Awaknya Perempuan
- Dunia Hari Ini: Demi Bunuh Trump, Remaja di Amerika Habisi Kedua Orang Tuanya