Penyandang Disabilitas Tak Butuh Belas Kasihan
“Kita butuh memberi mereka identitas positif. Kita selalu berusaha untuk memutuskan sesuatu untuk mereka, seharusnya kita malah memberi mereka ruang untuk membuat keputusan sendiri karena tak banyak dari mereka tahu cara melakukannya,†terang akademisi perempuan berambut pendek ini.
“Bukan belas kasihan,†tegasnya.
Ia kemudian mencontohkan, setiap orang yang hidup tanpa disabilitas biasanya memiliki 150-250 jaringan pertemanan bebas atau hubungan dengan orang lain.
Di sisi lain, satu penyandang disabilitas rata-rata hanya memiliki 20 jaring pertemanan. Itulah mengapa, kata Caroline, belas kasihan tak akan membantu.
“Saya pikir, kondisi (belas kasihan) itu hanya akan berubah jika orang dengan dan tanpa disabilitas mau menghabiskan waktu bersama, karena kita harus sadar bahwa disabilitas bukanlah tragedi."
"Itu tidak tragis, memang susah menjadi orang buta, tidak mudah menjadi orang lumpuh, tapi itu bukan akhir dunia,†jelasnya kepada Nurina Savitri dari ABC Australia Plus Indonesia selepas memberi kuliah umum.
Caroline menyambung, “Ada banyak orang yang hidup dengan keterbatasan tapi mereka mampu meraih banyak hal.â€
Isu disabilitas dialami hampir semua negara di dunia. Untuk mengatasinya, pakar disabilitas dari Universitas Flinders Australia Caroline Ellison,
- Inilah Sejumlah Kekhawatiran Para Ibu Asal Indonesia Soal Penggunaan Media Sosial di Australia
- Dunia Hari ini: Trump Bertemu Biden untuk Mempersiapkan Transisi Kekuasaan
- Dunia Hari Ini: Penerbangan dari Australia Dibatalkan Akibat Awan Panas Lewotobi
- Dunia Hari Ini: Tabrakan Beruntun Belasan Mobil di Tol Cipularang Menewaskan Satu Jiwa
- Korban Kecelakaan WHV di Australia Diketahui Sebagai Penopang Ekonomi Keluarga di Indonesia
- Trump Menang, Urusan Imigrasi jadi Kekhawatiran Warga Indonesia di Amerika Serikat