Peradilan Bisnis
Oleh: Dahlan Iskan
jpnn.com - SEMUA pengusaha melakukan itu. Di New York. Tiap hari. Tiap jam. Kenapa kalau saya yang melakukan jadi masalah hukum. Diadili. Dituduh melakukan kejahatan korporasi.
Yang mengungkapkan itu Presiden Donald Trump. Ia seperti mewakili perasaan para pengusaha di New York, bahkan di seluruh Amerika. Pun dunia.
Ucapan Trump tidak persis seperti itu, tetapi intinya begitu. Sehari penuh, Senin kemarin (waktu setempat) Trump di pengadilan. Tiga kali ia menemui wartawan: saat baru tiba, saat jeda makan siang dan saat selesai sidang. Ia marah. Geram. Kesal. Khas Trump. Kali ini lebih wush.
Betapa padat kesibukan Trump. Betapa banyak urusan. Kali ini ia dibuat hanya duduk. Sehari penuh. Itu saja pasti sudah kenjengkelkannya, apalagi duduknya untuk mendengarkan tuduhan yang mengancam kelangsungan hidup perusahaan-perusahaannya di New York.
Kalau hanya mendengarkan mungkin masih tahan. Ia juga harus satu ruangan dengan orang yang amat ia benci: Letitia James. Berkulit hitam. Wanita. Sudah tidak muda. Demokrat. Dia jaksa yang menggugatnya.
Trump dilaporkan terus melengos dari wajah dan sosok Letitia.
Trump juga harus satu ruangan dengan hakim yang terkenal "maunya sendiri": Arthur Engoron. Kulit putih tetapi Demokrat. Bikin heboh.
Sidang pengadilan belum dimulai Engoron sudah memutuskan: Trump, anak sulungnya, perusahaannya yang di New York, melakukan kejahatan perusahaan. Bertahun-tahun. Bisa dijatuhi hukuman yang setara dengan hukuman mati di perkara pidana: perusahaan harus ditutup dan Trump dilarang berbisnis di negara bagian New York.