Perak Berwarna Emas
jpnn.com - HARUS diakui dengan jujur, tim sepak bola Malaysia U-23 memang tampil lebih hebat, di final SEA Games, tadi malam. Mereka lebih jago dari anak asuh Rahmad Darmawan. Mereka menang nasib, setelah 120 menit beradu ketangkasan, kecerdikan, dan stamina, akhirnya sukses mengungguli RI di pesta adu penalti, 3-4. Mereka sukses melepaskan diri dari tekanan atau pressure supporter Garuda yang over load di Stadion GBK. Tetapi hasil itu bukan berarti timnas PSSI U-23 kita melempem, loyo, jelek atau kehilangan gairah ! Tidak, tidak! Pelawanan dan perjuangan timnas PSSI untuk mengimbangi pemain-pemain Malaysia yang lebih jangkung, lebih kekar dan lebih kokoh itu juga amat mengagumkan. Mereka fight habis! Sengit dan ngotot dari sejak wasit meniup priit, sampai peluit panjang dibunyikan Timnas PSSI, telah memberikan segala yang terbaik buat Merah Putih.
Mereka sampai kesetanan, bermain dengan tempo tinggi, cepat, keras, tak kenal lelah, apalagi takut. Mereka bermain lepas. Energi mereka seperti sudah dipasang rechargeable batteries. Nggak ada habisnya. Kami, menit ke-80 sudah keha bisan suara untuk berteriak lebih ken cang lagi, pita suara sudah tidak kompromi lagi. Bahkan horn tret-tet-tet kami sudah kehabisan gas. Tetapi, Diego Michiels dan kawan-kawan seperti tidak pernah kehabisan bahan bakar. Jadi, sudahlah, tidak perlu ditangisi, kekalahan selisih satu gol di adu penalti itu. Tidak perlu disesali secara berlebihan. Anak-anak kalah terhormat. Medali perak, tapi serasa emas 24 karat. Perak cabang sepak bola itu “berwarna” emas. Kita boleh bangga, karena generasi U-23 ini masih polos dan lugu itu tidak banyak bermain trik, tidak banyak cingcong atas hal-hal yang tidak penting.
Tidak banyak “menipu” penjaga garis atau wasit, dengan diving atau trik untuk mendapatkan hadiah penalti. Mereka bermain betul-betul apa adanya. Main bersih, jujur. Kalahnya pun, bukan kekalahan yang telak. Bukan kalah mutlak. Masih ada aro ma “nasib” atau factor lucky di partai puncak itu. Tersandung batu di adu penalti, memang serasa disayat-sayat ke kalahan itu. Kalau mau dirasa “sakit” ya memang tidak enak, kalah dalam partai paling bergengsi, di cabang paling ber bobot, dan paling banyak dilihat orang itu, kok hanya adu penalti? Saya tidak melihat indikasi “sengaja mengalah” seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Saya tidak mencium ada “babi suap” yang meracuni masa depan mereka. Keseriusan mereka tidak perlu diragukan lagi. Kekalahan ini murni karena ka lah. Karena itu, mengaku kalah dan memberi selamat kepada tim Malaysia itu serasa lebih sportif, fair dan membawa iklim sejuk dalam bersepak bola. Tidak perlu sentimental, apalagi harus mencari-cari kesalahan wasit, penjaga garis, dan pemain lawan.
Itu kuno, dan menunjukkan kekerdilan diri. Mereka sudah menjadi pemimpin pertandingan dengan jempol. Lagi-lagi, saya salut dengan penonton kita. Persis ketika saya tonton di penentuan Juara Group, di pertemuan pertama lalu. Mereka total mensupport, dengan kostum Garuda di dadaku. Mereka juga tidak marah dengan wasit, pemain dan ofi sial Malaysia, termasuk supporter Ma laysia yang berkostum kuning hitam. Itu menunjukkan derajad kedewasaan yang baik. Ini bisa jadi sepak bola kita sudah memasuki sebuah level, di mana industry sepak bola bisa tumbuh dan bersemi dengan dikelola secara bisnis. Sepak bola tidak hanya menang dan kalah. Sepak bola itu menikmati spirit, taktik stra tegi, skill, stamina dengan segala kebanggaannya. Sedangkan, menonton di stadion itu membeli atmosfer, menang kap suasana, dan mencari sensasi yang tidak mungkin ditemukan di mana saja. Menonton TV live, memang lebih jauh lebih simple. Kalau ada momen penting bisa di review, bisa di replay.
Gambar juga tampak lebih dekat, lebih jelas, lebih close up. Ekspresi mereka juga tergambar sangat jelas. Proses terjadi gol bisa diulang-ulang, sehingga terlambat menonton pun, tidak mengikuti dari awal, masih bisa bercerita tentang golgolnya. Bagi saya, partai final tadi malam, betul- betul puncak SEA Games yang happy ending. RI sudah pasti juara umum, tak terkejar lagi perolehan medali emasnya, lebih dari 171 biji (tadi malam). Buat apa lagi? Sudah cukup. Memang, semula saya juga makhluk yang berasumsi, emas sepak bola itu adalah gongnya SEA Games. Percuma juara umum, tan pa mengantungi medali emas di olah raga yang paling bergengsi, sepak bola. Tapi, menyaksikan penampilan Pa trick Wanggai dan kawan-kawan semalam, rasanya pendapat itu amat berlebihan. Mereka sudah tampil yang terbaik, yang bisa dipersembahkan buat bangsa dan negara. Ibarat mengendarai mobil, gas sudah mentok. Tidak mungkin digenjot lagi. Sudah maksimal. Kita memang kalah mesin, sekaligus kalah bahan bakar.
Lagi pula, kasih dong Malaysia emas, biar mereka juga punya kebanggaan, pulang ke tanah airnya mengantungi medali yang paling berbobot itu? Ini juga untuk menjaga agar bobot gengsi SEA Games sebagai pesta olahraga antar negara ASEAN tetap berkelas, dan menjunjung tinggi fairplay. Yang mengundang kegelisahan saya adalah, mengapa harus ada korban? Dua orang tewas, karena terinjak-injak, berimpitan saat masuk ke Gelora Bung Karno? Sepertinya, panpel tidak terlalu antisipasi dengan historis pertemuan Indonesia v Malaysia itu. Panpel gagal men sterilkan stadion dari penonton tak bertiket, penonton bertiket palsu, dan sistem pengamanan di dalam stadion. Sebuah peristiwa yang sulit diterima nalar? Karena itu seharusnya bisa diantisipasi, bisa dibaca dari pertemuan terakhir di penentuan juara group, yang sudah berjubel berlebihan? Bisa dengan membatasi jumlah tiket yang beredar? Bisa dilihat dan dirasakan, tingkat kepadatan di dalam tribun.
Bisa menambah layar tancap di arena GBK? Bisa menjaga agar di dalam tetap nyaman, di luar masih bisa menonton TV layar lebar. Memperoleh duit tiket penonton, itu memang hak organizer atau penyelenggara. Tetapi menyelamatkan dan melindungi orang yang masuk stadion dan sudah membayar tiket, itu adalah kewajiban panpel. Kalau hanya berpikir bisnis, maka yang penting masuk banyak, untung banyak, titik. Soal keamanan, kenyamanan, keselamatan, itu kan sudah ada yang mengurus? Kan ada petugas keamanan! Sayang, dua nyawa harus melayang. Sayang, harus ada air mata, di tengah hiruk pikuk suara terompet dan teriakan penonton. Tragis, demi membela “Garuda”, mereka harus mengakhiri hidup di Stadion GBK. (*)
HARUS diakui dengan jujur, tim sepak bola Malaysia U-23 memang tampil lebih hebat, di final SEA Games, tadi malam. Mereka lebih jago dari anak asuh
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Batal Didatangi Massa Buruh, Balai Kota DKI Lengang
- Jangan Menunggu Bulan Purnama Menyapa Gulita Malam
- Dua Kali Getarkan Gedung, Bilateral Meeting Jalan Terus
- Agar Abadi, Tetaplah Menjadi Bintang di Langit
- Boris Yeltsin Disimbolkan Bendera, Kruschev Seni Kubisme
- Eskalator Terdalam 80 Meter, Mengusap Mulut Patung Anjing