Perang Terigu
Oleh: Dahlan Iskan
Tentu dengan perang Ukraina yang seperti slow motion ini, menahan harga tidak akan bisa bertahan lama. Pada akhirnya adalah: laba.
Memang harga Indomie, sampai kemarin, masih Rp 2.900/bungkus. Tapi harga itu bisa bertahan berapa lama lagi? Untuk apa laris tapi rugi? Untuk apa kian laris produknya kian besar kerugiannya?
Maka menaikkan harga, pada akhirnya tidak bisa dihindari. Apalagi bagi produsen roti. Yang harga gula pun ikutan naik. Dan harga elpiji tidak mau ketinggalan.
Akhirnya konsumen juga yang jadi pemikul beban terakhir semua itu: bukan hanya Volodymyr Zelenskyy dan apalagi Vladimir Putin.
Terigu ini bagi Indonesia adalah bencana nasional jangka panjang. Bahkan seumur hidup. Problem jangka panjang impor BBM bisa diatasi dengan mobil listrik. Kalau mau. Masih ada jalan. Kalau bisa.
Namun, persoalan jangka panjang terigu akan seperti pemikul salib: seumur hidup.
Konsumsi terigu nasional terus naik. Kenyataannya begitu. Rasa mie pun kian diperbanyak. Sampai pun ke rasa laksa dan rendang. Bahkan rasa soto.
Konsumsi terigu tidak bakalan bisa turun. Generasi baru kian beralih ke mie dan roti. Padahal kita tidak pernah bisa menanam gandum. Kita negara tropis. Gandum tidak bisa tumbuh baik di Indonesia.
Saya pun bertanya ke beberapa sumber yang dekat dengan terigu. Ternyata Indonesia memang impor gandum sangat besar dari Ukraina:
- Bea Cukai Resmikan Pemberlakuan 10 Alat Pemindai Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung Priok
- Tegas, Bea Cukai Musnahkan Rokok & Pakaian Bekas Impor Ilegal di Entikong
- Kertajati Mati
- KNKT Beri Kabar Mengejutkan, Pemilik Mobil Listrik Wajib Tahu
- Diterjang Impor Ilegal, Puluhan Perusahaan Tekstil Nasional Kolaps
- Perusuh Bocor