Perangko Lelap

Oleh: Dahlan Iskan

Perangko Lelap
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Resto itu sudah begitu dekat dengan cagar. Di dalam bus, mata saya pindah-pindah: ke layar HP dan ke layar ufuk.

Saya bayangkan cagar itu nanti akan sangat menakjubkan: binatang-binatang liar, buas, aneh, langka. Atau ribuan burung yang lagi beterbangan. Mungkin juga banyak tanaman langka di situ.

Layar HP pun menunjukkan posisi: bus sudah berada di dalam wilayah cagar alam. Saya menatap ke luar: sama saja. Padang pasir juga. Yang itu juga. Tidak ada bedanya dengan ke mana pun mata memandang.

Pun satu jam kemudian. Dua jam berikutnya. Cagar dan bukan cagar tidak bisa dibedakan.

Setidaknya saya sudah punya pengalaman memasuki cagar terbesar di Timur Tengah.

Dan bus ini akan berhenti di Taif –kota pegunungan 1,5 jam sebelum Makkah. Inilah harapan baru. Setelah harapan lama lewat dengan hampa.

Taif. Begitu terkenal namanya. Kota wisata. "Seperti Batu di Malang," kata banyak orang yang belum pernah ke Batu.

Taif di depan mata. Hampa lagi.

Untuk kembali ke Makkah saya siap mental dapat kursi pojok paling belakang tanpa jendela. Toh, saya masih membawa jendela 7-i ke mana-mana.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News