Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA

Agar Ayah Tak Harus Jadi Turis untuk Momong Anak

Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA
GLOBAL CITIZEN: Rulita Anggraini dan suaminya, Mark Winkel, bersama tiga buah hati mereka di kediamannya di kawasan Manggarai, Jakarta. Foto: Miftahul Hayat/Jawa Pos

”Karena banyaknya permasalahan yang dihadapi para pelaku perkawinan campuran ini, kami berinisiatif membentuk Perca untuk membantu mereka,” kata Rulita yang merupakan ketua pertama Perca. Ada tiga fokus utama Perca, yakni sosialisasi, advokasi, dan konsultasi.

Menurut Rulita, sudah banyak advokasi yang dilakukan untuk mendukung kesetaraan hak sipil bagi WNI yang menikah dengan WNA. Dia pun bersyukur, selangkah demi selangkah ada terobosan hukum yang memberikan keadilan bagi orang-orang seperti dirinya. Namun, saat ini yang tengah diperjuangkan Perca adalah hak kepemilikan properti oleh WNI yang menikah dengan orang asing.

Presiden direktur Prisma PR, perusahaan public relation, tersebut mengatakan, pemerintah masih melarang WNA memiliki properti di Indonesia. Terkait aturan tersebut, pihaknya sebenarnya merasa tidak berkeberatan. Tapi, yang menjadi persoalan, aturan itu akhirnya juga merembet kepada WNI seperti dirinya yang menikah dengan orang asing.

”Ini yang bagi saya sangat tidak adil. Termuat jelas dalam UU Agraria pasal 21 ayat 1 (1), yang berisi ketentuan hanya WNI yang dapat memiliki hak milik properti. Nah, apa saya bukan WNI? Kenapa saya tidak bisa punya rumah di sini hanya karena saya menikah dengan orang asing? Saya masih WNI dan tidak melepaskan kewarganegaraan saya,” tegasnya.

Gara-gara rumitnya kepemilikan properti tersebut, saat ini Rulita dan keluarga memilih tinggal di rumah warisan orang tuanya. Menurut Rulita, larangan kepemilikan properti bagi WNI yang menikah dengan WNA tersebut akhirnya disiasati para pelaku perkawinan campuran. Dia membeberkan, salah satu siasat yang kerap dilakukan ialah menggunakan KTP saat perempuan WNI tersebut belum menikah.

”Kalau sudah mentok, biasanya akan disarankan untuk memakai KTP saat si WNI itu masih gadis. Padahal, nikahnya sudah bertahun-tahun dan sudah punya anak,” ungkapnya.

Cara lainnya, kata Rulita, mereka disarankan menggunakan KTP milik saudara kandung atau ibu si perempuan WNI ketika membeli tanah atau bangunan. ”Nah, itu ada yang dinamakan perjanjian nominee. Jadi, pemilik asli dan pihak pemilik KTP membuat perjanjian rahasia yang menegaskan bahwa rumah tersebut, meskipun atas nama adiknya atau ibunya, ya tetap kepemilikan ada di tangan perempuan WNI yang nikah sama orang asing itu,” paparnya.

Namun, perjanjian rahasia tersebut rentan disalahgunakan. Sebab, perjanjian nominee itu belum diakui di Indonesia. ”Jadi, kalau misalnya di kemudian hari si adik itu meninggal, lalu ahli warisnya menuntut hak atas rumah itu, ya ribet jadinya. Padahal, cara-cara ini kan enggak benar,” tuturnya.

Dalam pernikahan beda bangsa, bukan hal mudah menyatukan dua budaya. Namun, yang tak kalah sulit adalah aturan hukum terkait kewarganegaraan hingga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News