Perempuan di Jepang Mulai Membuka Suara Soal Rendahnya Angka Kelahiran

"Jangan salahkan perempuan atas rendahnya tingkat kelahiran," tulis Ayako di Twitter, warga Tokyo berusia 38 tahun yang tidak memiliki anak.
Dia menggunakan hashtag "various choices" atau berbagai pilihan, dan mengatakan bahwa peran gender tradisional di Jepang telah menjadi sumber masalah.
Survei yang dilakukan pemerintah pada tahun 2021 menemukan bahwa perempuan Jepang menghabiskan waktu empat kali lebih banyak dari pria dalam urusan rumah tangga dan membesarkan anak, dibandingkan suami yang bahkan bekerja dari rumah sekali pun.
Ayako berani menulis online namun mendapat banyak kritik ketika berbicara tentang gender dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya dia menolak mengungkapkan nama keluarganya.
"Susah sekali menyampaikan pendapat kita di dunia nyata," katanya.
"Saya merasa perempuan mendapat begitu banyak kritik hanya karena mereka menyampaikan pendapat."
Sementara di media sosial "Saya kadang terkejut menemukan orang lain yang memiliki pandangan yang sama".
Suara yang gagal masuk ke ranah politik
Yuiko Fujita, profesor studi gender dan media di Meiji University mengatakan media sosial sudah menjadi ruang bagi perempuan untuk mendiskusikan masalah politik dan sosial tanpa kekhawatiran karena bisa melakukannya secara anonim.
Pemerintah Jepang sudah mengakui masalah turunnya tingkat kelahiran dan perlu segera ditangani
- Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik yang Reformis, Meninggal Dunia pada Usia 88 tahun
- Dunia Hari Ini: PM Australia Sebut Rencana Militer Rusia di Indonesia sebagai 'Propaganda'
- Keren! Plywood dan Blockboard Asal Temanggung Rambah Pasar Jepang dan Korea Selatan
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia
- Dunia Hari Ini: Siap Hadapi Perang, Warga Eropa Diminta Sisihkan Bekal untuk 72 Jam