Perempuan Indonesia Berusaha Mematahkan Stigma soal Menikah dengan Bule

Stigma terhadap pasangan dari negara yang berbeda sudah lama menjadi masalah di Indonesia.
Ini turut mendorong dibentuknya masyarakat perkawinan campur yang dikenal sebagai PerCa.
Selama 14 tahun, organisasi tersebut telah mengadvokasi, mensosialisasi aturan dan menyediakan konsultasi bagi komunitasnya.
Awalnya dimulai dari 46 orang pendiri, kini PerCa sudah memiliki lebih dari 1.500 anggota, dengan anggota WNA yang kebanyakan berasal dari Australia, Inggris dan Amerika Serikat.
"Ada stigma negatif [terhadap orang dalam pernikahan campur] untuk naik level secara sosial," kata Melva Nababan Sullivan, kata salah satu pendiri dan advokat PerCa.
"Tapi kalau mengenai stigma sudah mulai berubah karena sekarang mereka lebih welcome [menyambut] bahwa perkawinan campuran itu sudah dianggap sebagai bagian daripada masyarakat Indonesia."
Berakar dari sejarah penjajahan
Dosen pendidikan anak-anak, gender dan seksualitas di Universitas Gadjah Mada Yulida Pangastuti mengatakan stigma terhadap pernikahan campur sangat dipengaruhi nilai yang dianut masyarakat dalam masa penjajahan.
"Dari berbagai literatur, perempuan-perempuan pribumi sering dilihat dengan lensa hyper-sensualitas, menggunakan seksualitasnya untuk merayu laki-laki Eropa sebagai nyai, gundik, dan pekerja seks, semata-mata untuk kepentingan ekonomi," katanya.
Perempuan menikah dengan 'bule' masih mendapat komentar atau pertanyaan yang menyakitkan
- Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik yang Reformis, Meninggal Dunia pada Usia 88 tahun
- Dunia Hari Ini: PM Australia Sebut Rencana Militer Rusia di Indonesia sebagai 'Propaganda'
- Momen Hari Kartini, Kalbe Kampanyekan Siapa Takut Jadi Ibu!
- Peringati Hari Kartini, Wamendagri Ribka: Perempuan Harus Bangkit dan Bertransformasi
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia