Perempuan Indonesia Berusaha Mematahkan Stigma soal Menikah dengan Bule
"Sementara laki-laki asing, terutama yang berkulit putih, dianggap sebagai simbol kuasa yang memberikan keuntungan politik dan ekonomi."
Yulida melihat podcast tersebut sebagai inisiatif yang baik untuk menambah informasi seluk-beluk perkawinan campur.
"Banyak informasi yang dibahas dengan cara yang mudah dicerna dan dipahami oleh banyak pendengar, termasuk advokasi mengenai hak atas kewarganegaraan ganda bagi keluarga dari perkawinan campur," katanya.
Ia mengatakan pembahasan mengenai perkawinan campur lebih banyak menyoroti kawin campur antara individu dengan pergaulan kelas menengah, meski dalam kenyataannya pasangan dari kelas menengah ke bawah juga ada di masyarakat.
"Sebagai contoh, banyak pekerja migran Indonesia yang menikah atau berkeluarga dengan sesama pekerja migran dari negara lain," katanya.
"Anak-anak yang lahir dari perkawinan campur dari kelompok ini lebih banyak yang tidak memiliki akte kelahiran, mendapatkan akses bantuan-bantuan sosial ... dan [harus berhadapan dengan] proses dan syarat imigrasi yang kerap tidak ramah pada individu dari kelas menengah ke bawah."
Aspek lain yang menurutnya perlu diperhatikan adalah gender dan ras, di mana percakapan tentang perkawinan campur juga harus melibatkan laki-laki Indonesia dan mereka yang menikah dengan ras lain, yang dianggap "tidak kelihatan."
Perjuangan untuk anak
Tapi bukan hanya stigma yang dialami masyarakat perkawinan campur di Indonesia.
Perempuan menikah dengan 'bule' masih mendapat komentar atau pertanyaan yang menyakitkan
- Dunia Hari Ini: Terpidana Mati Kasus Narkoba Mary Jane Dipulangkan ke Filipina
- Australia Juara Menangkap Pengunjuk Rasa Lingkungan
- Dunia Hari Ini: Assad Buka Suara Lebih dari Seminggu Setelah Digulingkan
- Lima Anggota Bali Nine Sudah Kembali dan Akan Hidup Bebas di Australia
- Dunia Hari Ini: Warga Australia Keracunan Minuman Beralkohol di Fiji
- Sekolah di Australia yang Menutup Program Bahasa Indonesia Terus Bertambah, Ada Apa?