Perjalanan Mengenang Tragedi Karbala
Jumat, 24 Agustus 2012 – 01:21 WIB
Saya merasa beruntung ziarah ke Najaf dan Karbala. Saya bisa melihat kondisi Iraq tidak hanya di ibu kotanya. Kalau melihat Baghdad saja, hampir-hampir putus harapan: gersang, panas, kering, dan berdebu.
Tidak terlihat geliat ekonomi baru sama sekali. Tidak banyak bangunan bekas perang yang sudah direnovasi. Jalan-jalan penuh dengan barikade militer. Kendaraan harus sering berhenti melewati pos bersenjata. Melewati jalan raya pun seperti memasuki terowongan: kanan kiri jalan dipagar dengan beton-beton knockdown setinggi 3 meter.
Tapi, begitu keluar dari Baghdad, ke arah selatan menuju Najaf, kesan saya tentang Iraq berubah. Ekonomi terasa mulai menggeliat di jalur itu. Hampir sepanjang jalan saya melihat pelebaran jalan, pembangunan jalan baru, dan pembuatan flyover. Di beberapa lokasi, seperti di Provinsi Babilon (di sinilah pusat kekaisaran Babilonia kuno), terlihat pembangunan perumahan rakyat. Bentuknya apartemen empat lantai yang terdiri atas ratusan blok.
"Sebetulnya rakyat kurang senang apartemen. Tapi, zaman modern harus diikuti," ujar teman saya yang orang Iraq. "Kami sebenarnya senang dengan rumah biasa berlantai dua. Pada musim tertentu, kami terbiasa tidur di atas atap. Bisa terasa seperti tidur di padang pasir," tambahnya.
SUNNI berlebaran Minggu, Syiah keesokan harinya. Di Iraq, tidak ada gejolak atas perbedaan itu. Pemerintah tidak terlibat. Masing-masing golongan
BERITA TERKAIT