Perjalanan Mengenang Tragedi Karbala
Jumat, 24 Agustus 2012 – 01:21 WIB
Buku satunya lagi adalah sebuah novel berjudul Jalan Menuju Khurasan. Saya lupa siapa penulisnya. Tapi, rupanya, itu novel terjemahan.
Ketika berada di makam Sayidina Hussein, saya merenungkan mengapa bisa terjadi tragedi seperti itu. Juga tragedi-tragedi berdarah lainnya. Sejak zaman Khulafaur-rasyidin hingga zaman setelah Abbasyiah. Bagaimana bisa terjadi, gara-gara politik kekuasaan, pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir justru ketika umat Islam menganut paham pemerintahan kekhalifahan.
Permenungan saya terhenti karena tiba-tiba ada suara riuh rendah. Saya lihat ada atraksi yang menakjubkan di dalam masjid itu. Sekitar 50 orang berdiri membuat lingkaran. Mereka mengayun-ayunkan badan, mengalunkan puji-pujian, sambil menunjukkan gerakan memukul dada seperti penari saman dari Aceh. "Mereka itu peziarah dari Iran," ujar teman saya. "Mereka menggunakan bahasa Parsi," tambahnya.
Sejak Saddam Hussein yang Sunni tergusur oleh tentara Amerika Serikat, pemerintahan Iraq memang dikuasai golongan Syiah. Maka, kawasan padat Syiah seperti Najaf dan Karbala bangkit luar biasa. "Dulu tidak ada perhatian Saddam ke wilayah ini," kata teman saya tersebut.
SUNNI berlebaran Minggu, Syiah keesokan harinya. Di Iraq, tidak ada gejolak atas perbedaan itu. Pemerintah tidak terlibat. Masing-masing golongan
BERITA TERKAIT