Perjuangan Dua Sahabat Asal Indonesia demi Tinggal di Australia Setelah Dihapuskannya 'White Australia Policy'

Berbekal niat untuk mengubah nasib, Muhammad Imran yang berasal dari Kupang terbang ke Darwin, Australia seorang diri pada tahun 1972.
Di hari ketibaannya di Australia, pria yang berusia 18 tahun itu langsung bekerja sebagai tukang angkut sampah.
"Pulang kerja pertama angkat sampah itu, nangis. Abis enggak pernah kerja di Indonesia, juga kerjaannya berat, lari semalaman angkat sampah," kenangnya.
Dalam lima jam pertama di Australia, Muhammad Imran mengaku kehidupannya langsung banyak yang berubah.
"Karena enggak tahu bahasa Inggris, ketika ditanya 'What's your name?' oleh bos, saya tidak mengerti dia ngomong apa," katanya.
"Jadi, anak-anak itu menjawab, 'Max' namanya."
Hingga lima puluh tahun sejak kejadian itu, semua orang di Australia mengenalnya sebagai Max.
Zakaria Sanny, yang tiba di Darwin tahun 1973, juga mendapat panggilan 'John' oleh orang-orang yang mengenalnya.
Setelah 'White Australia Policy' dihapuskan, Pemerintah Australia memberikan pengampunan bagi mereka yang status visanya sudah habis
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia
- Dunia Hari Ini: Siap Hadapi Perang, Warga Eropa Diminta Sisihkan Bekal untuk 72 Jam
- Rusia Mengincar Pangkalan Udara di Indonesia, Begini Reaksi Australia
- Dunia Hari Ini: Katy Perry Ikut Misi Luar Angkasa yang Semua Awaknya Perempuan
- Dunia Hari Ini: Demi Bunuh Trump, Remaja di Amerika Habisi Kedua Orang Tuanya