Perjuangan Yudiutomo Imardjoko Hidupkan BatanTek yang Hampir Mati

Pilih Pulang meski Digaji Rp 100 Juta di Luar Negeri

Perjuangan Yudiutomo Imardjoko Hidupkan BatanTek yang Hampir Mati
Yudiutomo di depan bengkel nuklir PT Batan Teknologi, Tangerang Selatan. Foto : Yudiutomo for Jawa Pos

Kemampuan otak Yudi membuat Prof Daniel Bullen kepincut dan meminta dirinya untuk ikut mengajar teknik nuklir di Iowa State University. Tawaran gajinya pun menggiurkan, yakni USD 8.000 atau sekitar Rp 16 juta per bulan (kurs saat itu Rp 2.000/USD).

Namun, tawaran itu ditolaknya. Sebab, sejak awal, Yudi memang sudah berniat untuk mengembangkan ilmu nuklir di Indonesia dengan menjadi dosen di Teknik Nuklir UGM. "Status saya saat itu masih CPNS. Gajinya masih Rp 200 ribu per bulan," ujarnya lantas tertawa.

    

Dia mengaku tidak kecewa menolak tawaran pekerjaan dengan gaji yang besarnya berlipat-lipat itu. Rasa nasionalisme dan jiwa pendidik yang mengalir dalam darahnya lebih dari segalanya. Karena itu, putra almarhum Prof Imam Barnadib-Prof Sutari Barnadib tersebut lebih senang pulang ke Indonesia dan mengabdikan ilmunya di almamater. Selain mengajar,Yudi menjadi direktur Pusat Studi Energi UGM dan menjadi konsultan berbagai perusahaan energi.

Setelah 25 tahun mengajar, Yudi mencoba tantangan baru. Dia menjadi konsultan energi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang berkantor di New York, AS. Namun, garis hidup seperti menuntunnya untuk kembali ke Indonesia. Baru 5 bulan menjadi konsultan PBB, Yudi mendapat informasi adanya lowongan posisi direksi di PT BatanTek, sebuah BUMN yang bergerak di bidang nuklir. Hatinya pun tergerak untuk menyumbangkan tenaga dan ilmunya di tanah air.

Ilmuwan nuklir di Indonesia termasuk langka, apalagi yang reputasinya sampai diakui dunia. Salah satu yang langka itu  adalah Ir Yudiutomo Imardjoko

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News